Bagaimana saya harus berkisah tentang mereka? Tentang orang tua mereka kah yang sehari-hari menjadi nelayan atau buruh? Atau tentang nasib mereka kelak? Pastinya perlu khawatir tentang mereka kelak akan bagaimana. Jangan-jangan salah satu dari mereka akan menjadi "Si Budi" di Tugu Pancoran yang menjual koran untuk mimpi-mimpi yang kerap mengganggu kita.
.
Karena mereka hanya belajar di sebuah ruang. Satu guru. Satu papan tulis. Tiga tingkatan kelas. Dua puluh tiga siswa.
.
Kenapa harus khawatir?
Di saat dunia sangat membutuhkan selembar kertas bernama ijazah, mereka memukul dan menampar keegoisan kita. Mereka, dengan sekeras baja, belajar tanpa peduli nantinya akan dapat selembar kertas berharga itu atau tidak. Membaca. Menulis. Menghafal. Itulah mereka.
.
Ketika seorang teman-teman dari seribu burung kertas jauh-jauh datang kemari, terpupuklah semangat untuk berbagi kebahagiaan dengan mereka. Maka sekedar bermain, menyusun kalimat, lomba membaca, atau lomba berhitung, cukuplah memberi kebahagiaan pada mereka. Berbagi pengalaman tentang cara mempelajari sesuatu. Mengalami proses belajar yang ternyata menyenangkan.
.
Karena mereka hanya belajar di sebuah ruang. Satu guru. Satu papan tulis. Tiga tingkatan kelas. Dua puluh tiga siswa.
.
Kenapa harus khawatir?
Di saat dunia sangat membutuhkan selembar kertas bernama ijazah, mereka memukul dan menampar keegoisan kita. Mereka, dengan sekeras baja, belajar tanpa peduli nantinya akan dapat selembar kertas berharga itu atau tidak. Membaca. Menulis. Menghafal. Itulah mereka.
.
Ketika seorang teman-teman dari seribu burung kertas jauh-jauh datang kemari, terpupuklah semangat untuk berbagi kebahagiaan dengan mereka. Maka sekedar bermain, menyusun kalimat, lomba membaca, atau lomba berhitung, cukuplah memberi kebahagiaan pada mereka. Berbagi pengalaman tentang cara mempelajari sesuatu. Mengalami proses belajar yang ternyata menyenangkan.
Dan perjalanan itu masih lama. Dan panjang. Tapi saya berharap tidak akan begitu lama. Sehingga mereka benar-benar bisa mengenyam pendidikan yang layak; ada buku penunjang, ada evaluasi, ada rapot, dan ada ijazah. Kalau pun toh tidak, ilmu yang mereka serap akan lebih barakah dari kita yang hidup di keramaian. Mereka belajar supaya bisa membaca marca jalan, ketika ke kota mereka tidak nyasar karena tidak bisa membaca rambu-rambu. Sedangkan kita, selalu saja tentang uang, tentang ijazah, tentang derajat, tentang prestisius, tentang ambisi, tentang tetek bengek lainnya yang membuat hati saban hari selalu resah.
Majulah untuk mimpi yang pernah kau tulis di sayap origami itu.
hanya bisa bercerita untuk sekarang, tapi nanti, doakan kami kembali lagi meski hanya setitik air telaga untuk kalian... semangART!
mereka. sepertinya ini akan menjadi kado natal.
Memang Mas Hendra, saat ini hanya bisa bercerita. Dan semoga saya bisa segera menyambut dirimu... lagi.
Post a Comment