![]() |
Air Mata Keikhlasan |
Kita berbicara tentang cinta, maka jangan lupa untuk mendiskusikan sakitnya ditinggalkan. Kita berbicara tentang kekayaan dan harta benda, maka jangan lupa untuk mengingat akan datangnya kemiskinan. Kita berbicara tentang kebahagiaan, maka sisakanlah sedikit saja tawa untuk mengobati hati kala sedih datang. Inilah hukum alam yang salah satunya adalah antonim, baik yang kembar maupun yang majemuk.
Jalan keluar dari kekisruhan hati karena ada dan tiada, cinta dan benci, datang lalu pergi adalah merelakannya. Ikhlas karena kedatangan seseorang, maka relakanlah ia ketika memutuskan untuk pergi. Lalu kembali pada kata-kata klise lainnya: Tuhan akan menggantinya dengan yang lebih baik.
Saya jadi ingin menceritakan pengalaman saudari saya, Iffa. Ia baru menikah dua bulan sebelum pernikahanku. Tiga hari setelah pernikahannya ia kehilangan cincin pemberian suaminya. Kamar mandi, kotak sampah, kamar, dapur dan semua seluk beluk rumah yang tadi dilewatinya ditelusuri kembali. Hasilnya nihil. Lalu ia histeris. Seperti musibah-musibah lainnya, nasihat yang terucap dari ibu adalah mengikhlaskannya karena Allah akan menggantinya dengan kebaikan.
Keikhlasan itu butuh proses. Rasa kehilangan yang menyesakkan harus dihapus perlahan-lahan. Tak bisa sekejap. Kalau dipaksa maka hasilnya akan seperti kain sutera di atas duri mawar lalu kau menariknya dengan paksa. Beralihlah pada aktifitas lain yang memberi manfaat karena setiap momen yang terjadi pada kita pasti ada tujuan pembelajarannya. Pasti ada sesuatu yang sangat personal yang harus tumbuh dalam diri Iffa dan juga suaminya. Pelajarannya datang dari cincin kawinnya yang hilang.
Singkat cerita, empat bulan berlalu ibu bersih-bersih rumah dan juga halaman. Dedaunan kering dari pohon jambu air dan sukun diangkut ke kotak sampah. Begitu juga sampah-sampah dalam rumah. Setelah semua bersih tinggal mengambil aksi terkahir: membakar sampah. Di sinilah keikhlasan yang lama ditanam di dalam hati pada akhirnya berbuah. Di tengah-tengah kobaran api ibu melihat kemilau kuning dari tumpukan sampah yang memerah api. dengan sapu lidi yang masih di genggamannya ia mengambilnya. Itulah cincin Iffa yang empat bulan lalu hilang.
Setahun lalu pun demikian ketika motor hijau itu harus pindah tangan secara paksa di pelataran masjid. Hati menjadi kalut dan hampir-hampir tak lagi berfikir jernih. Sesekali kutatap tempat parkir, ternyata memang hilang. Kugigit ujung lidah, ternyata ini memang kenyataan.
Perlahan kesadaran mulai membuka terang di hati. Saya mengabsen aksi yang harus saya lakukan. Dan yang paling sulit adalah mengabari orang-orang terdekat. Mengabari bukan merengek, mengeluh, atau meratap. Duka harus disimpan dalam-dalam. Ketika sudah cukup tegar, setelah empat hari berselang, barulah berani kukabari ayah dan ibu.
Betapa malu saya dengan dugaan-dugaan yang sebelumnya muncul di kepala. Mendengar berita duka seperti itu, ibu memberi nasehat sejuk yang mampu memadamkan amarah dan duka di hati. “Tidak apa-apa. Itu artinya umur manfaat motor itu di tanganmu hanya segitu. Allah akan menggantinya dengan kebaikan yang lain.”
Setelah itu saya tersenyum. Kulihat beberapa teman yang pernah mengalami kejadian yang sama dan mereka tetap bahagia. Saya pun harus tetap bahagia dengan cara mengikhlaskannya, semoga si hijau bermanfaat di sana. Dan setelah sekian lama proses mengikhlaskan, datang hikmah-hikmah yang tak terlupakan. Ada yang berbondong-bondong datang dan dengan pedenya saya menganggap itulah penggantinya.
Tapi saya percaya, yang pergi itu akan datang lagi. Ia datang dalam jelmaan yang lain. ia bisa dalam bentuk kesehatan, ia bisa juga dalam bentuk kelapangan. Tak jarang juga dalam bentuk kemudahan. Saya teringat kutipan seorang teman, ketika kita berniat baik pada saat itu pula alam semesta mendukungnya.
Post a Comment