Ini adalah cerita tentang mahluk Tuhan yang ini menentang takdirnya. Yakni sebuah cerita tentang Minyak yang ini berteman dengan Samudera.
"Aku akan menemukan caranya. Meskipun itu harus kucari sampai ke ujung dunia." Begitulah tekadnya.
Maka ia pun mulai mengelilingi dunia, mendaki pegunungan, merambah hutan, dan sesekali berhenti di kepulauan, serta meninggalkan duta di sana; di Medan, Kalimantan, Cepu, dan juga Sidoarjo.
Bertahun-tahun ia mengembara. dan selama itu pula tidak ada perkembangan dari para duta. Bahkan ketika ia mulai masuk ke dalam rumah-rumah, kendaraan, diesel, bahkan sampai ke bulan, tetap saja hasilnya sia-sia. Semuanya justru bertambah parah. Ia hancur dan menderita. Jangan dikira ia putus asa, justru makin kuat saja tekadnya. Baginya itulah perjuangan, dan perjuangan selalu membutuhkan pengorbanan.
Ia pun lalu mengadu pada gunung.
"Kau tinggi menjulang. Dari atas sana kau pasti tahu segalanya. Katakanlah kalau di ujung dunia sana terdapat cara supaya aku bisa bersahabat dengan samudera."
Namun gunung tidak bergeming. Ia memalingkan wajah.
"O, tentu kau tidak tahu rasanya hidup dalam permusuhan. Hati kecilku menginginkan perdamaian."
"Yang kau inginkan akan melawan hukum alam." Gunung mencoba memberi nasehat.
"Hukum alam tidak adil."
"Hukum alam sangat adil."
Minyak murka. Ia mengalir hendak mendekati Samudera. Itu nekat namanya. Untunglah di tengah perjalanan ia dihadang pohon kelapa.
"Tidak begitu cara menjalin persahabatan. Nekat adalah jalan setan. Kau bukan setan, benar kan?" Daun, rumput, cemara, kamboja, sampai raflesia tertawa terbahak-bahak mendengar kelekar pohon kelapa. "Tempatmu bukan di permukaan. Itulah takdirmu." Lanjutnya.
"Kenapa tidak?"
"Kalau kau ingin hadir di permukaan kau harus merubah wadakmu. Tekad membabi-butamu itu hanya akan melenyapkan tujuanmu." Dahan kelapa mengepak melambai salam pada akasia.
"Itu munafik namanya."
"Munafik dan empatik hanya dipisahkan selembar selaput mata. Kau hanya perlu mengetahui cara menempatkan diri."
"Caranya?"
Pohon kelapa menghela nafas panjang. Daun cemara pun terjatuh di atas kelopak ralfesi. "Kalau kau menyatu dengan Samudera, mungkin alam akan kehilangan keseimbangannya." Bisik kepala dalam kekhawatiran.
"Tapi air matamu bisa dengan mudahnya ke samudera?"
"Karena salah satu dari kami sudah siap untuk melebur. Hilang. Sirna."
"Itu artinya...."
"Ya, kau harus melebur. Sirna. Membakar apa yang ada dalam hatimu." Pohon kepala menatap wajah minyak yang menunduk, "sudah aku duga kau tidak akan bisa. Karena meskipun kau hanya setetes kau selalu ingin yang teratas."
Dikata-katai congkak, Minyak pergi menjauhi rumah Samudera. Berjalan menyusuri desa sampai ke kota. Ia pun mampir dieceran bensin bersama-sama teman lamanya. Ia tetap tertunduk lesu. Untuk menjawab pertanyaannya sendiri saja ia enggan, apalagi meladeni ocehan kawan-kawannya itu. Dan ketika ia melamun, ia melihat mobil tangki BBM terpeleset dan terjungkil, menabrak warung sate dan menumpahkan ribuan liter muatannya. Itu teman-temannya. Mereka terbakar, menjerit, dan meronta. Ia bingung. Ingin membantu tapi jelas tidak mungkin.
Saat kebingungan, ia mendapat jawaban dari sebuah bencana. Lima mobil kebakaran menyemburkan air, memeluk ribuan liter teman-temannya setelah berjuang melawan api diatas tubuhnya. Ia tidak melihat setetes pun dari teman-temannya yang ingin berdiri congkak di atas air. mereka lebur. Mereka sirna, setelah api habis membakarnya.
Minyak menemukan jawaban. Berlari penuh semangat, ia menuju pulang. Memanggil semua yang pernah ia tinggalkan, mereka berbondong-bondong turun ke dasar yang paling dalam. Di tempat gelap bersebelahan ruang palung, mereka samadi, membakar diri.
Sedangkan di atas permukaan, gelap menyelimuti.
Post a Comment