Saya mengantar seorang teman beserta rombongannya untuk menilik anak-anak Pulau Tegal. Seperempat hari sudah terasa hangat di pantai Ringgung. Sambil menunggu jemputan dari Pak Nur Zaman, kami menikmati air pasang dengan ombak yang mendayu-dayu merdu.
Desember, bulan hujan, menyuguh ombak yang ekstrim. Syukurlah pagi ini cuaca tersenyum cerah. Ombak tersenyum ramah, dan kami tak perlu khawatir. Ketika kapal mulai membela lautan di antara keramba-keramba yang memelihara ikan kerapu, kami bisa tersenyum dan bercanda mengabadikan momen dalam rangkaian pixel kamera digital. Lautan yang jernih memanjakan mata kami untuk menikmati terumbu karang. Sayang sekali, di antara kami tidak ada yang membawa snorkel.
Air yang jernih itu ternyata harus dikotori oleh pemandangan tidak mengenakkan di bibir pantai pulau Tegal. Sampah-sampah lautan berlabuh di sana. Tidak ada kepedulian untuk membersihkannya. Warga cenderung beralasan karena ini sampah kiriman, ketika musim panas datang pantai akan kembali bersih. Saya sendiri tidak punya solusi bagaimana menyingkirkan sampah-sampah yang mengganggu ini.
Kami ingin tetap fokus pada awal rencana kedatangan kami. Tentang sampah itu menjadi keprihatinan hati kami yang mengendap, semoga kelak akan ditemukan solusinya.
Di kelas, kegiatan diawali dengan mewarnai. Nyi Ayu memang cerdas membimbing anak-anak mewarnai. Doraemon yang awal mulanya monoton hitam putih menjadi penuh warna. Walhasil, dia kesusahan menentukan siapa yang paling rapih mewarnai. Usai mewarnai, teman-teman lainnya sudah siap dengan acara meriah lainnya.
Permainan yang paling memukau ternyata mereka pintar main sepak bola, laki-laki dan perempuan, biasa tumpah ruah di halaman untuk mengejar bola, menendang, mengocek, dan goal..... Permainan-permainan mereka nanti pasti lebih seru lagi. Pasalnya, Ardi dan kawan-kawan memberi mereka kostum The Blues. (Menyebalkan sekali, kenapa bukan Red Devil).
Dan, langit mulai terselimuti awan gelap. Hujan menjelang. Kami tidak bisa lagi berlama-lama di sini karena perjalanan ke Bandarlampung membutuhkan waktu satu jam tigapuluh menit. Kami tidak ingin kehujanan di tengah jalan.
Tidak seperti saat berangkat, ketika pulang air laut seperti ingin mengamuk. Ombak besar menghantam dari arah kiri, sedikit oleng, dan semuanya teriak histeris. Bahkan ketika kami sudah kembali ke rumah, masih aja jerit histeris: jerit bahagia.
Terimakasih.
Desember, 2012
Post a Comment