Yang gelap biarlah tetap gelap, kalau mau memejamkan mata sebentar lalu membukanya lagi pasti akan segera menemukan seluet-seluet cahya. Kalau pun tidak menuntunmu keluar dari kelam setidaknya cahya itu akan memuncul dalam hatimu sebuah harapan: cahya ada di mana-mana.
Apa lagi ketika hati sedang kelam, tak perlu risua berbicara dengan diri sendiri. Ia hanya membutuhkan malam. Iya, di tengah malam kau akan mendengar merdu bisikannya. Lalu, kenapa harus malam? Bukankah saat malam hakikat cahaya justru menjadi terang benderang.
Selama ini, mungkin kau telah tertipu dan tersipu oleh matahari. Kau tidak menyebut terang yang berasal dari matahari dengan 'cahya', bukan? Kata yang kau pilih 'sinar',bukan? Sinar matahari terlalu terang untuk menyinari hati. Ia diperuntukkan untuk bumi, dan bumi adalah simbol kefanaan. Yang dibutuhkan hati adalah cahya. seperti cahya bulan. Lembut dan mendamaikan.
Sayang sekali, akhir-akhir ini malam kerap hujan. Bulan sembunyi di balik awan. Namun bagaimanapun hujan adalah berkah. Semakin deras butirannya yang terjatuh, semakin lebar jarak satu tetesannya. Melipirlah lewat celah-celah butiran hujan itu. Begitu nasehat Cak Nun.
Kalau cahya bulan bisa terhalangi oleh kelam awan, maka temukanlah cahyamu sendiri. Cahya yang bersumber dari sanubari. Masing-masing dari kita sudah memiliki sumbunya, tinggal menemukan pelantiknya supanya menyala. Kalau cahya itu sudah menyala, jangan biarkan ia terhalangi oleh awan kelam yang kau ciptakan sendiri. Awan kelam itu datang dari fikiranmu, dari syahwat dunyawimu, dari kekalahanmu menentramkan ambisimu.
Kita bisa sama-sama belajar, terbangun di tengah malam, berteman sepi, berbicara dengan sanubari. Semoga kamu, dan juga aku, sama-sama merasakan jangan-jangan apa yang kita genggam selama ini adalah awan kelam itu.
2012
.
Post a Comment