Mas Pa-eng

Aku Lali Nek Durung Mati. || Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe, Mung kadang-kadang ngedumel sithik.

Gambar Pekan Ini

Gambar Pekan Ini
Gambar berdasarkan mood yang muncul.

Subscribe and Follow

Instagram

recent posts

Ads

Contact Form

Flickr Images

Pendapatmu tentang blog ini?

Top Style

[4] [Tali Rasa] [one] [Tali Rasa]

Popular Posts

Top Slide

[5] [true] [slider-top-big] [Slider Top]

'Bonafitisme' Ujian Nasional

| No comment
Sumber gambar: ristizona.com
Saya kembali telat. Gerbang sekolah sudah ditutup. Dan sambil ngopi saya memikirkan ini:

Hari ini kami melaksanakan LUN Pertama, Latihan Ujian Nasional. Bukan LUN-nya yang membuat saya menulis ini, tetapi beban mental para pelajar berseragam biru putih itu.

Ada paradoks seperti ini: kualitas pendidikan Indonesia terperosok di tingkat bawah, guru kah yang kurang kompeten atau kurikulum yang tak bermutu? Lalu dibuatlah standar kelulusan. Hasrat yang kuat untuk meningkatkan kualitas pendidikan justru memperburuk keadaan. Pasalnya, standar yang ditentukan membabi-buta. Sekolah yang memiliki tujuh standar dengan baik disamakan dengan sekolah yang hampir roboh, pokoknya standar ke-8 tidak bisa ditawar. Siswa dg nilai akhir dibawah 5.5 dinyatakan TIDAK LULUS.

Lalu bermunculan gengsi dan harga diri. Kelulusan 100% tiba-tiba menjadi harga mati.

Di mana sebenarnya posisi peserta didik?

Mereka berada di dalam permainan besar antar petinggi dan pemangku kebijakan. Mereka bermain, oh tidak tapi dipaksa bermain dan dipermainkan. Cobalah sesekali pulang menjelang maghrib melewati tempat bimbingan belajar. Anak-anak tumpah ruah. Ada yang masih beseragam sekolah, ada pula yang sudah siap langsung hang out usai bimbel. Mereka baru selesai mengikuti bimbingan belajar. Mereka tak tahu apa-apa tetapi dipaksa ikut bermain seperti serdadu.

Kebobrokan makin kentara ketika dari para pelajar sendiri semakin surut minat belajarnya. Selain sekolah yang semakin menyebalkan, gadget dan telepon genggam menjadi godaan yang tak mungkin terelakkan. Dari sekolah dasar sampai yang tak dasar lagi. Karena dari awal tak serius dalam belajar, menjelang kelulusan mereka kembali belajar yang dasar-dasar.

Saya bilang ini bobrok. Ya, tapi tidak saya tujukan pada personalnya. Yang bobrok adalah sistem bawah sadar kita. (Lain kali kita bicara tentang sistem bawah sadar). Dan sebodoh-bodoh orang adalah ia yang tahu keboborokannya tapi tak mau membuat perubahan. Ia kalap dan tenggelam. Tapi tahu kalau itu tak benar. Seperti diri saya sendiri.

Perihal LUN, sangatlah baik menyadarkan siswa tentang kondisi dirinya sendiri, mengetahui posisi dan kompetensi dirinya sendiri, dan banyak cara  melaksanakan hal tersebut. Di antaranya adalah memberikan soal-soal latihan yang sesuai dengan SKL. Untuk tujuan ini, LUN memang memberi dampak yang baik. Namun secara psikologis, kasihan saya melihat mereka: anak-anak tampak begitu tertekan. Dan stress itu sebenarnya bukan bersumber dari LUN, namun dari sistem yang raksasa yang entah apa namanya.

Februari, 2014