Anggaplah yang saya maksud dengan melaju adalah berkarya. Para kreator itu pasti memiliki terminal-terminal kehidupan, semacam persinggahan untuk menyerap energi. Seorang suami akan singgah di rumahnya yang beraroma surga. Seorang murid akan akan singgah pada gurunya sebagai tempat segala tanya. Akuilah, bahwa kita membutuhkan dermaga untuk persinggahan. Nah, kalau kita berhenti di sana tetapi kita tak memiliki standar atas hidup kita sendiri, bagaimana akan kokoh berdiri?
Ketika saya menempati rumah kontrakan baru, saya cek terlebih dahulu sistem sanitasi dan kamar mandi. Kalau yang itu beres, yang lain gampang menyusul. Ada juga yang punya cara lain membuat dirinya betah menempati rumah baru, misalnya dengan melihat tata interior, taman, pemisahan ruang tamu dengan ruang keluarga, dan lainnya.
Dalam hal makanan, saya tidak suka terlalu banyak aneka ragam lauk di atas meja. Justru bermacam-macam lauk itu membunuh selera makan saya. Tetapi ada yang sebaliknya. Mertua teman saya tak pernah puas dengan dua atau tiga jenis lauk di meja makan. Belum lagi sayur dan lalapan. Yang tak habis dimengerti bagaimana bisa orang-orang merasa malu kalau tak menyisakan makanan yang diambil sendiri ke atas piringnya? Malu dibilang rakus, jadi makanan disisakan barang satu atau dua sendok di atas piring.
Itu standar-standar hidup yang sangat sederhana. Tapi yang begitu sederhana itu kadang ditempatkan di posisi yang menyudutkan diri sendiri. Kalau standar itu justru tidak membuatmu berdiri kokoh, mengapa harus dipakai?
Dalam sebuah program sekolah, saya harus mengawal siswa-siswi saya untuk mengikuti acara bakti sosial. Yang saya khawatirkan adalah mereka membawa standar hidup mereka di kota ke lokasi yang serba minim itu. Tapi saya salah, justru mereka mampu melakukan improvisasi menghadapi kesulitannya masing-masing. Dalam hal tidur, mereka membuat diri mereka capek sehingga bisa tidur dalam kondisi apa saja. Dalam hal makan, capek setelah baksos membutakan mereka sehingga selera tak dipengaruhi jenis lauk di atas piring. Dan masalah buang hajat, sungai telah menyediakan segalanya.
Lalu saya tersadar, standar hidup sejatinya bukan untuk kemegahan, tetapi ia sekedar 'cagak urip' yang sesekali saja dipakai. Manusia telah dibekali kepekaan hidup bersosial, lalu dari interaksi sosial itu terbentuklah norma-norma. Untuk itu, norma di rumah sendiri belum tentu sejalan dengan norma di rumah orang lain. Norma di negeri sendiri belum tentu sejalan dengan norma orang lain.
Dan saya pun berfikir kalau bisa memakai standar dua, mengapa harus pakai standar satu?
2014
Post a Comment