Ada yang berdiri agak menunduk... makanya kami naiki. |
Lama tak ngumpul seperti ini. Dulu, sewaktu masih kerja di gedung hijau, mencari momen untuk pergi ngeluyur enggak susah. Sangat kondisional. Kalau salah satu dari kami ada yang bilang 'nyengnyong yuk!' atau 'nongkrong yuk!' yang lain bakal cepet mengamini. Jadi, waktu Andy ngajak lutisan di rumahnya kami pun langsung oke. Bahkan, pergi ke pantai seperti ini pun tak perlu susah nge-planning.
Duh, kami memang sudah seperti keluarga. Dekat dan erat. Banyak waktu dihabiskan bersama meskipun hanya sekedar bercengkrama di bawah temaran bulan di balai kota, menghabiskan suara di kabin karaoke, atau duduk senyap menatap layar bioskop. Saya kira kebiasaan tongkrongan seperti itu lumrah dijalani siapapun. Yang membuat kami terasa spesial adalah atmosfir dan lingkungan yang mengikat kami seperti ini. Sampai-sampai ada ada yang mengingatkan kalau kami harus membatasi diri karena kami adalah guru. Padahal sungguh kami selalu membatasi diri.
Tapi ya begitu lah, selalu ada yang lekang oleh waktu. Dan senang-senang itu benar-benar hanya bisa dikenang.
Taufiq, misalnya. Hhmm.., mana ada yang bisa semerdu suaranya untuk menyanyikan lagu bang Rhoma di kabin karaoke. Sekarang dia sudah jadi seorang bapak. Gak tega mau ngajak doi ngeluyur malem-malem terus.
Taufiq dalam nyanyian sendu |
Atau seperti Andy yang seperti Bocah Tua Nakal, yang kalau melihatnya tak bermata kalbu maka yang tampak hanya kebejatan. Sebenarnya saya juga bejat, tapi karena hipokrit jadi gak kelihatan. Itulah salahnya, dia tak 'pintar' menutupinya sampai kejadian -banyak lidah mengatakan- tragis hari itu. Merokok dan pintar memobilisasi massa, begitu kata orang. (Seharusnya tertulis begini: Merokok dan pintar berteman). Tapi dibalik itu semua, yang benar-benat mengenalnya takkan mengucapkan nyinyiran seperti itu.
Post a Comment