Mas Pa-eng

Aku Lali Nek Durung Mati. || Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe, Mung kadang-kadang ngedumel sithik.

Gambar Pekan Ini

Gambar Pekan Ini
Gambar berdasarkan mood yang muncul.

Subscribe and Follow

Instagram

recent posts

Ads

Contact Form

Flickr Images

Pendapatmu tentang blog ini?

Top Style

[4] [Tali Rasa] [one] [Tali Rasa]

Popular Posts

Top Slide

[5] [true] [slider-top-big] [Slider Top]

Menyadari Diri Sendiri

| No comment

Saya membaca Salah Anggapan salah satu tulisan Gus Mus (A. Mustofa Bisri) di “Kompensasi”. Tulisan ringan tetapi sangat menyentuh kesadaran; menyadari kapasitas diri untuk melakukan sesuatu; mengukur kemampuan yang dimiliki untuk mengatakan ya atau tidak atas tawaran jabatan tertentu.

Dari bacaan itu kemudian saya merenungkan diri. Ada kemungkinan diri saya adalah bagian dari orang-orang yang terpikat dan terlena oleh jabatan dan anggapan. Hanya karena saya pernah melakukan sesuatu yang berhasil dengan baik lalu saya dianggap mampu melakukan banyak hal yang lain. Padahal keberhasilan itu adalah keberhasilan tim, keberhasilan kolektif, bukan jerih payah saya sendiri.

Saat itu, ketika saya mengatakan ya untuk sebuah posisi, mungkin saya terlalu gumedhe ati. Apalagi beberapa teman mendukung dan mengelu-elukan. Meskipun ada juga yang mencoba menyadarkan saya tentang kapasitas diri saya.

Hati saya yang dulu gumedhe kini mulai ciut. Banyak kenyataan yang menunjukkan bahwa saya tidak mumpuni berada di posisi itu. Seperti tidak bisa mengajak koordinasi yang intens untuk mensukseskan satu agenda, pekerjaan yang terus-terusan molor dari dead-line, dan rasa-rasanya makin lama saya semakin individualis: pekerjaan yang seharusnya dikerjakan secara teamwork saya lahap sendiri. Akibatnya saya kekenyangan. Dan kalau sudah kenyang begini, ujung-ujungnya saya mengantuk. Bayangkan, ada orang mengantuk mengendarai kendaraan?

Memang, ‘anggapan’ kerap membuat saya lupa diri, melayang satu senti dari bumi tapi terasa sudah mengangkasa. Terlebih lagi kalau orang-orang terdekat, yang saya percayai, dan juga yang saya cintai ikut-ikutan memuji dan mengelu-elukan saya. Rival yang seharusnya bisa “dimanfaatkan” untuk menjadikan diri saya mawas diri dan bercermin justru melangkah brutal.

Gus Mus menulis begini: orang lain sering hanya melihat tampakan luar yang acap kali menipu.orang yang dilihat mempunyai sati-dua keahlian, celakanya, lalu dianggap ahli dalam semua hal. Dan kenyataan membuktikan memang banyak juga orang yang senang dianggap ahli dalam banyak hal dan berusaha memperteguh anggapan itu. Nah, saya terjerumus ke dalam kubangan lumpur itu.

Saya pernah mendapat nasehat begini: Han, coba nerimo ing pandhum nglenggono ing urip. (Cobalah untuk bisa menerima apa yang Allah Swt. berikan, dan mengabdilah pada kehidupan seikhlas-ikhlasnya).
Petuah Jawa yang singkat itu kemudian dipaparkan sangat dalam. Manusia adalah khalifah Allah Swt. dan tugas khalifahlah menjaga alur kehidupan ini sesuai dengan garis tuntunan-Nya; menjaga keseimbangan, menanamkan nilai kemanusiaan, meminimalisir segala kerusakan; jangan sekali-kali kekuasaan dan kekayaan menghilangkan nurani kemanusiaan. Jangan mengatasnamakan keseimbangan lalu merobohkan yang tidak penting, karena yang tidak penting sejatinya juga sangat penting.

Sayangnya nasehat itu baru saya ingat-ingat kembali akhir-akhir ini; setelah saya nerimo ing pandhum: menerima apa yang diberikan kepada saya. Apalagi saat itu saya sedang melayang satu senti di atas bumi. Dan kalau yang saya terima ini tidak sesuai dengan nilai-nilai kekhalifahan, lalu saya ini khalifah siapa. Jangan-jangan saya hanya mengkhalifah-khalifahkan diri saya.

Kalau sudah begini, tinggallah saya menguatkan apa yang ada di dalam. Mempersiapkan diri menerima apa yang akan terjadi, dan menyadarkan diri tentang apa yang telah terjadi. Tetap saja masalalu tidak bisa diputar ulang, tapi ia bisa dijadikan anak tangga untuk mancik ke atas; naik menuju maghfirotullah.

Setelah sekian lama mata saya silau, semoga yang saya lihat kali ini bukan fatamorgana.


2012