Saya membaca Salah Anggapan salah satu tulisan Gus Mus (A. Mustofa Bisri) di “Kompensasi”. Tulisan ringan tetapi sangat menyentuh kesadaran; menyadari kapasitas diri untuk melakukan sesuatu; mengukur kemampuan yang dimiliki untuk mengatakan ya atau tidak atas tawaran jabatan tertentu.
Dari bacaan itu kemudian saya merenungkan diri. Ada
kemungkinan diri saya adalah bagian dari orang-orang yang terpikat dan terlena
oleh jabatan dan anggapan. Hanya karena saya pernah melakukan sesuatu yang
berhasil dengan baik lalu saya dianggap mampu melakukan banyak hal yang lain.
Padahal keberhasilan itu adalah keberhasilan tim, keberhasilan kolektif, bukan
jerih payah saya sendiri.
Saat itu, ketika saya mengatakan ya untuk sebuah
posisi, mungkin saya terlalu gumedhe ati. Apalagi beberapa teman mendukung
dan mengelu-elukan. Meskipun ada juga yang mencoba menyadarkan saya tentang
kapasitas diri saya.
Hati saya yang dulu gumedhe kini mulai ciut. Banyak
kenyataan yang menunjukkan bahwa saya tidak mumpuni berada di posisi itu.
Seperti tidak bisa mengajak koordinasi yang intens untuk mensukseskan satu
agenda, pekerjaan yang terus-terusan molor dari dead-line, dan rasa-rasanya
makin lama saya semakin individualis: pekerjaan yang seharusnya dikerjakan
secara teamwork saya lahap sendiri. Akibatnya saya kekenyangan. Dan
kalau sudah kenyang begini, ujung-ujungnya saya mengantuk. Bayangkan, ada orang
mengantuk mengendarai kendaraan?
Memang, ‘anggapan’ kerap membuat saya lupa diri, melayang
satu senti dari bumi tapi terasa sudah mengangkasa. Terlebih lagi kalau orang-orang
terdekat, yang saya percayai, dan juga yang saya cintai ikut-ikutan memuji dan
mengelu-elukan saya. Rival yang seharusnya bisa “dimanfaatkan” untuk menjadikan
diri saya mawas diri dan bercermin justru melangkah brutal.
Gus Mus menulis begini: orang lain sering hanya melihat
tampakan luar yang acap kali menipu.orang yang dilihat mempunyai sati-dua
keahlian, celakanya, lalu dianggap ahli dalam semua hal. Dan kenyataan
membuktikan memang banyak juga orang yang senang dianggap ahli dalam banyak hal
dan berusaha memperteguh anggapan itu. Nah, saya terjerumus ke dalam kubangan
lumpur itu.
Saya pernah mendapat nasehat begini: Han, coba nerimo ing
pandhum nglenggono ing urip. (Cobalah untuk bisa menerima apa yang Allah
Swt. berikan, dan mengabdilah pada kehidupan seikhlas-ikhlasnya).
Petuah Jawa yang singkat itu kemudian dipaparkan sangat
dalam. Manusia adalah khalifah Allah Swt. dan tugas khalifahlah menjaga alur
kehidupan ini sesuai dengan garis tuntunan-Nya; menjaga keseimbangan,
menanamkan nilai kemanusiaan, meminimalisir segala kerusakan; jangan
sekali-kali kekuasaan dan kekayaan menghilangkan nurani kemanusiaan. Jangan
mengatasnamakan keseimbangan lalu merobohkan yang tidak penting, karena yang
tidak penting sejatinya juga sangat penting.
Sayangnya nasehat itu baru saya ingat-ingat kembali
akhir-akhir ini; setelah saya nerimo ing pandhum: menerima apa yang
diberikan kepada saya. Apalagi saat itu saya sedang melayang satu senti di atas
bumi. Dan kalau yang saya terima ini tidak sesuai dengan nilai-nilai
kekhalifahan, lalu saya ini khalifah siapa. Jangan-jangan saya hanya
mengkhalifah-khalifahkan diri saya.
Kalau sudah begini, tinggallah saya menguatkan apa yang ada
di dalam. Mempersiapkan diri menerima apa yang akan terjadi, dan menyadarkan
diri tentang apa yang telah terjadi. Tetap saja masalalu tidak bisa diputar
ulang, tapi ia bisa dijadikan anak tangga untuk mancik ke atas; naik
menuju maghfirotullah.
Setelah sekian lama mata saya silau, semoga yang saya lihat
kali ini bukan fatamorgana.
2012
Post a Comment