Karena cerita-cerita, kisah-kisah, atau keluh kesah tentang mereka yang berhadapan dengan birokrasi bangsa kita yang tercinta ini, kebanyakan orang menjadi keder untuk berhadapan langsung dengan urusan birokrasi. Kisah ngeri itu bermula dari mulut ke mulut yang tentunya sudah terbumbui dengan tambahan ini dan itu, dan juga dari mereka yang "suka membantu" melalui jalur tak resmi. Namun, setelah dialami sendiri, ternyata tidak semengerikan cerita-cerita itu.
Setahun yang lalu, ayah saya ingin memperbaiki Kartu Keluarga (KK). Karena jarak tempat tinggal kami yang jauh dari pusat pemerintahan daerah (Pemda) maka kami memutuskan untuk meminta bantuan jasa kepada seseorang. Cetakan pertama terdapat beberapa kesalahan teknis seperti kesalahan penulisan nama dan tanggal lahir. Kami pun meminta supaya diperbaiki kembali dengan melampirkan ijazah terakhir yang kami miliki. Namun hasilnya tetap sama. Masih terdapat kesalahan pada penulisan nama: penyingkatan nama tidak sesuai dengan ijazah.
Inilah pengalaman buruk saya mempercayai jasa. Tidak hanya masalah biaya yang telah keluar dari kantong kami, tapi juga kebutaan tentang alur birokrasi yang sebenarnya sangat gampang. Bisa jadi ketidakberanian mental -dan beralas-alasan jarak yang jauh dengan Pemda- kebanyakan orang memilih jalur jasa daripada mencari pengalaman birokrasi. Maka, hari itu saya berangkat sendiri mengurus semuanya.
Pertama, saya berkonsultasi ke kelurahan menanyakan perihal pembuatan Akta Kelahiran. Saya menerima selembar formulir yang harus diisi, persyaratan lainnya yang mesti dipenuhi seperti foto kopi ijazah, KK, dan kartu nikah milik orangtua. Di sinilah, saya mengetahui beberapa kesalahan di KK yang setahun lalu saya titipkan kepada penjual jasa.
Kedua, saya melanjutkan ke Kantor Kecamatan untuk mendapatkan stempel. Iya hanya stempel legalisir dengan biaya sepuluh ribu rupiah. Sebenarnya saya bertanya-tanya dalam hati, apakah penarikan biaya administrasi ini berdasarkan undang-undang atau asal jeplak saja. Toh, kalau biaya itu telah diatur oleh undang-undang atau keputusan pemerintah kecamatan, tentunya saya menerima kwitansi serah terima?
Dari kecamatan, saya langsung ke Pemda. Satu jam empat puluh menit. dan saya akhirnya tiba di Pemda. Kembali ada dialog kecil dengan petugas loket untuk memastikan persayaratan yang dibutuhkan. Berkas aman. Saya lihat petugas loket itu membuat kwitansi untuk biaya yang harus saya keluarkan. Mata pun lari kesana kemari dan bermuara di papan pengumuman. Di sana terdapat kutipan UU tentang keterlambatan pembuatan Akta Kelahiran dengan denda Rp50.000,-
Ada rasa was-was, wah berapa ratus yang akan saya keluarkan. Sampai tiga ratus kah sebagaimana saya dengan dari teman-teman? Kalau gratis jelas tidak mungkin. Mengharapkan nol biaya administrasi di negeri ini adalah mimpi di siang bolong.
Saya terkejut ketika kwitansi itu keluar dari selah kecil loket. Tidak ada angka yang menunjukkan biaya administrasi. Bahkan untuk kolom jumlah besaran denda yang mesti dibayar berdasarkan UU tersebut. Saya pun memberanikan diri bertanya berapa.
"Lima lima, mas."
Benar, hanya lima puluh lima ribu rupiah. Lima ribu untuk biaya cetak dan lima puluh ribu untuk denda. Memang sesuai dengan peraturan yang tertulis. Hanya saja hati jadi sangsi, kenapa kwitansi itu kosong?
Tanggamus, 15 Mei 2012
.
Post a Comment