Dan akhirnya musim panas telah mengusir sampah-sampah di tepian pantai, gumpalan sampah entah kiriman dari mana saat musim penghujan kemarin. Cerahlah kembali pantai itu. Segar kalau sore hari direnangi. Begitu juga dengan anak-anak itu: anak-anak yang telah setahun belajar membaca dan menulis. Tetap saja mereka berwajah sumringah, tak peduli bulan depan mereka akan belajar di mana.
Begini keadaannya: Mereka belajar dari buku yang diajarkan di madrasah untuk kelas satu sampai tiga. Musykilnya, mereka tidak memiliki sistem evaluasi yang galibnya dianggap sah, yaitu rapor. Dan bulan depan, atau mungkin dua bulan mendatang, mereka akan belajar kurikulum untuk kelas empat. Bagaimana bisa satu ruang itu menampung anak-anak untuk belajar materi kelas satu sampai kelas empat.
Ah, obrolan tentang keruwetan itu kami buang jauh-jauh. Yang terpenting saat ini adalah mereka merasakan kebahagiaan dan keceriaan.
Maka tibalah saat kami mengenal para tokoh bangsa Indonesia yang telah gigih melawan penjajahan. Bercerita ala pendongeng tentang mimpi-mimpi Kartini dan perjuangan yang luar biasa dari seorang jendral bernama Sudirman. Hati ini, ketika di depan mereka yang tidak tahu apa bercerita, bergetar memaknai betapa agung perjuangan para pahlawan itu. Tapi di balik hati yang bergetar itu harus ada kegetiran yang tak terucap: betul kah sudah merdeka? Dan anak-anak ini, merdeka kah mereka? Kalau toh belum, siapa yang menjajah mereka?
Post a Comment