Begini: saya ingin perjuangkan tekad saya. Dan semakin tinggi tekad, wajarlah kalau jalan pencapaiannya juga berliku dan berbatu.
Begitu kata temanku. Lalu saya sendiri menjadi musykil: kalau sudah menjadi tekadnya kenapa juga harus disebar-sebarkan di pos ronda ini?
Lho, kamu kan pernah saya pinjami bukunya Rendra: Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata, begitu kan dalam salah satu baitnya? Saya ceritakan tekad saya ini supaya hati saya juga kuat. Terlebih lagi, biar suatu saat ketika saya lagi males dan putus asa, saya akan bangkit teringat saat-saat ini. Kau kan tau saya paling gengsi kalau dikatain omdo alias NATO alias No Action Talking Only.
Aduh, dia memang pintar berolah kata. Teman dekatku sekaligus musuh dalam selimutku itu.Susah-susah senang kalau punya teman yang suka menggebu-gebu seperti ini. Entah orang lain lihat atau tidak, tapi saya melihat. Pertama, omongannya yang besar itu, tentang keberhasilan dan kegemilangan, selalu saja membuat orang termanggut-manggut. Kadang saya juga ikut menganggukkan kepala karena memang ada benarnya juga kata-katanya. Para pendengar itu kemudian pulang dengan semangat baru dan penuh bara. Sedang teman saya sendiri pulang dengan kegetiran, karena sumpah dan tekadnya sendiri belum juga terjamah.
Kedua, hidupnya penuh dengan pencitraan. Kasihan sekali saya melihatnya. Di depan dia menunjukkan ketegaran, di belakang lunglai dalam keterpurukan. Setiap hari, setiap saat, setiap ketemu khalayak, ia selalu mewah-wahkan penampilannya. Ya seperti baju yang kita pakai ini: untuk menutupi bercak-bercak ketidakmulusan kulit dan bekas luka berantem saat kita kecil dulu. Pernah dia bilang begini: kawan, saya sudah capek begini terus. Rasanya ingin berhenti saja. Ya sudah berhenti saja. Kau tanggalkanlah semuanya. Kalau tidak bisa memperjuangkan dan mewujudkan semua impianmu ya akui saja tidak bisa. Mungkin orang lain yang akan menwujudkan sisanya, kataku. Oo, tidak bisa. Jawabnya. Lalu dia akan berdiri dan membenah-benahi lagi wajahnya. Duh, kalau saja tahu, tembok retak yang ditembel dengan dempul hanya akan tampak sempurna, padahal dalamnya rapuh.
Ketiga, saya pernah bilang begini: teman, orang lain itu atau tepatnya temanmu ini sejatinya adalah cermin dari dirimu juga. Walau hanya mencermini "kemaluanmu" saja, maksudku rasa malu yang kau tutup-tutupi itu. Kau selalu mengata-ngataiku begini-begitu, sebenarnya kau pun sedang mengata-ngatai dirimu sendiri. Kau bilang supaya saya tegar dan berani melangkah, padahal kau sedang meyakinkan dirimu untuk tegar dan berani melangkah, bukan? Kau bilang supaya saya bekerja, tak menganggur begini, padahal kau sedang meyakinkan dirimu bahwa kau sedang melakukan sesuatu, bukan? Kau pintar, tentu kau tau maksudku.
Saya geli sendiri mendengar jawabannya begini: kau manusia tidak visioner! Dalam hati saya menjawab: buat apa ber-visi kalau tidak melakukan misi
--- ** ---
Hah, terimakasih teman sudah menuliskan celotehmu untukku. Dengan keberanian yang saya miliki, saya publish saja suratmu ini.
Begitu kata temanku. Lalu saya sendiri menjadi musykil: kalau sudah menjadi tekadnya kenapa juga harus disebar-sebarkan di pos ronda ini?
Lho, kamu kan pernah saya pinjami bukunya Rendra: Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata, begitu kan dalam salah satu baitnya? Saya ceritakan tekad saya ini supaya hati saya juga kuat. Terlebih lagi, biar suatu saat ketika saya lagi males dan putus asa, saya akan bangkit teringat saat-saat ini. Kau kan tau saya paling gengsi kalau dikatain omdo alias NATO alias No Action Talking Only.
Aduh, dia memang pintar berolah kata. Teman dekatku sekaligus musuh dalam selimutku itu.Susah-susah senang kalau punya teman yang suka menggebu-gebu seperti ini. Entah orang lain lihat atau tidak, tapi saya melihat. Pertama, omongannya yang besar itu, tentang keberhasilan dan kegemilangan, selalu saja membuat orang termanggut-manggut. Kadang saya juga ikut menganggukkan kepala karena memang ada benarnya juga kata-katanya. Para pendengar itu kemudian pulang dengan semangat baru dan penuh bara. Sedang teman saya sendiri pulang dengan kegetiran, karena sumpah dan tekadnya sendiri belum juga terjamah.
Kedua, hidupnya penuh dengan pencitraan. Kasihan sekali saya melihatnya. Di depan dia menunjukkan ketegaran, di belakang lunglai dalam keterpurukan. Setiap hari, setiap saat, setiap ketemu khalayak, ia selalu mewah-wahkan penampilannya. Ya seperti baju yang kita pakai ini: untuk menutupi bercak-bercak ketidakmulusan kulit dan bekas luka berantem saat kita kecil dulu. Pernah dia bilang begini: kawan, saya sudah capek begini terus. Rasanya ingin berhenti saja. Ya sudah berhenti saja. Kau tanggalkanlah semuanya. Kalau tidak bisa memperjuangkan dan mewujudkan semua impianmu ya akui saja tidak bisa. Mungkin orang lain yang akan menwujudkan sisanya, kataku. Oo, tidak bisa. Jawabnya. Lalu dia akan berdiri dan membenah-benahi lagi wajahnya. Duh, kalau saja tahu, tembok retak yang ditembel dengan dempul hanya akan tampak sempurna, padahal dalamnya rapuh.
Ketiga, saya pernah bilang begini: teman, orang lain itu atau tepatnya temanmu ini sejatinya adalah cermin dari dirimu juga. Walau hanya mencermini "kemaluanmu" saja, maksudku rasa malu yang kau tutup-tutupi itu. Kau selalu mengata-ngataiku begini-begitu, sebenarnya kau pun sedang mengata-ngatai dirimu sendiri. Kau bilang supaya saya tegar dan berani melangkah, padahal kau sedang meyakinkan dirimu untuk tegar dan berani melangkah, bukan? Kau bilang supaya saya bekerja, tak menganggur begini, padahal kau sedang meyakinkan dirimu bahwa kau sedang melakukan sesuatu, bukan? Kau pintar, tentu kau tau maksudku.
Saya geli sendiri mendengar jawabannya begini: kau manusia tidak visioner! Dalam hati saya menjawab: buat apa ber-visi kalau tidak melakukan misi
--- ** ---
Hah, terimakasih teman sudah menuliskan celotehmu untukku. Dengan keberanian yang saya miliki, saya publish saja suratmu ini.
Post a Comment