Mas Pa-eng

Aku Lali Nek Durung Mati. || Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe, Mung kadang-kadang ngedumel sithik.

Gambar Pekan Ini

Gambar Pekan Ini
Gambar berdasarkan mood yang muncul.

Subscribe and Follow

Instagram

recent posts

Ads

Contact Form

Flickr Images

Pendapatmu tentang blog ini?

Top Style

[4] [Tali Rasa] [one] [Tali Rasa]

Popular Posts

Top Slide

[5] [true] [slider-top-big] [Slider Top]

SemangART di Bulan Desember

| 1 Comment

Merah di ufuk barat mulai memudar layaknya tirai yang tersingkap untuk menunjukkan bintang-bintang. 

Saya duduk seorang diri di lambung kapal, memperhatikan langit yang dicerahkan bintang, ombak dan semilir angin yang damai. Deru mesin kapal sama sekali tidak mengusik ketermenunganku. Dalam perjalanan yang singkat itu saya merasai syukur yang luar biasa; bersyukur atas karunia Tuhan yang telah mempertemukanku dengan mereka. 

Di ujung sana, di pulau kecil yang hendak saya tuju, terdapat dua puluhan anak-anak. Mereka ditemani dua orang teman yang telah datang lebih dahulu tadi pagi. Teman yang datang dari jauh lalu didekatkan oleh perasaan bersama untuk berbagi. Setelah setahun silam berkunjung ke Lampung, kali ini ia datang kembali, bukan sekedar untuk mengobati rindu di hati.

Siang itu, usai melaksanakan shalat Jum'at, Ika dan juga Levi sudah mengawali kegiatan bersama. Mereka memandu adik-adik bernyanyi. Selain bernyanyi, membaca buku menjadi agenda rutin setiap kedatangan. Bukankah membuka lembaran buku ibarat kita menyinkap tabir pengetahuan? Dari bukulah saya berharap mereka memperkaya diri dengan wawasan. Kadatangan kami sudah jaranga-jarang, sebulan sekali atau dua kali. Sedangkan televisi tak henti-hentinya meracuni. 

Rasa keingintahuan mereka sangat luar biasa, sayangnya tidak diimbangi dengan sekolah formal pada umumnya. Dan dari kepedulian teman-temanlah yang membuat mereka membuka tabir pengetahuannya sendiri, melalui buku. Seperti hari ini, ketika mereka menerima buku bacaan baru dari seorang teman. Duduk mereka pun rapi-rapi. Bacaan mereka terlihat hidmat. Lihat mata lentik mereka yang membaca buku, terpuaskan seperti tenggorokan yang dahaga lalu tersirami segelas air.  




Menikmati hari-hari bersama adik-adik ternyata membuat kami lupa waktu. Matahari mulai mengukir senja luar biasa di ufuk barat, membuat kami harus menghentikan sementara kegiatan dan dilanjutkan keesokan harinya. Tapi yang mengagetkan kami adalah antusiasme mereka yang ingin menghabiskan malam bersama-sama, di gubug, atau mancing sepanjang malam. 

Walhasil, kami tidak bisa memejam mata dengan tenang. Kami harus tetap mengawasi mereka yang tetap asik melempar kail walaupun tak seekor ikan pun yang terpacing. Apalagi, usai makan malam kami memergoki seekor ular cincin kuning sebesar lengan.

Syukurlah, sampai pagi menjelang tak kurang suatu apapun dari mereka. Justru ketika kedua mata telah terbuka, kami langsung diajak bermain melepas baju dan celana. Kami kembali nyemplung laut untuk memancing kerapu. Seperti kata mereka semalam, keberuntungan memancing di pagi hari lebih menjanjikan dari pada malam hari. Nyatanya memang demikian, hasil pancingan kami lebih menghasilkan pagi ini. 

Ini hari terakhir. Kami sudah menjanjikan untuk melakukan hal menarik hari ini: membuat buku dan memasak kue. 

Adik-adik duduk memutar di gubug dengan lembaran kertas folio untuk digunting menjadi empat. Yang lain memotong kertas, yang lain lagi membelas kain flanel yang akan diperuntukkan menjadi sambul buku. dan bim salabim. 




Sebagai penutup kegiatan kali ini, kami mempersembahkan hidangan kue. Ups, bukan kami tapi mereka sendiri yang menghidangkan kue. Masing-masing sudah dengan piring dan sendoknya untuk membuat adonan sebutir telur dan dua sendok mentega yang akan diaduk dan diolah menjadi adonan kue. 

Mereka memang trampil dan cekatan. dan tidak hanya itu yang membuat hati saya terenyuh dan bangga. Aas, yang pertama kali mencoba, ternyata tidak ingin menikmati kue buatannya sendiri, justru ia berikan kepada ibunya. Begitu juga dengan yang lain, hanya beberapa saja yang dinikmati sendiri di sini. Saya teringat bukan kah hari ini Hari Ibu? 

Namun, ada yang bergeming di hati saya. Persembahan kue untuk ibu mereka tidak ada kaitannya dengan Hari Ibu. Mereka tidak mengetahui konsep Hari Ibu. Yang mereka ketahui adalah rasa hormat, kasih sayang, keceriaan, mimpi, dan ketulusan. Dan persembahan kue-kue untuk ibu mereka adalah bentuk ketulusan hati mereka. 

Akhirnya, langit benar-benar terbakar  sore ini. Seperti ia iri atau mungkin cemburu. Kemerah-merahannya terpantul ke laut. Keramba-keramba yang ada di lepas pantai itu seperti berdiri melawan kobaran api. Dan hati kami pun demikian, berkobar karena harus melepas perpisahan. Entah kapan saya akan menghantarkan si perempuan ini menemui adik-adik? 

Terimakasih kawan. Juga untukmu yang jauh di seberang sana. Karena pemberian adalah anugerah, semoga anugerah ini menjadi berkah: untuk diri sendiri, untuk bumi pertiwi. SemangArt!!










Gambar lainnya: Silahkan klik di sini.

Anonymous said...

semangArt! I LOVE INDONESIA