Mas Pa-eng

Aku Lali Nek Durung Mati. || Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe, Mung kadang-kadang ngedumel sithik.

Gambar Pekan Ini

Gambar Pekan Ini
Gambar berdasarkan mood yang muncul.

Subscribe and Follow

Instagram

recent posts

Ads

Contact Form

Flickr Images

Pendapatmu tentang blog ini?

Top Style

[4] [Tali Rasa] [one] [Tali Rasa]

Popular Posts

Top Slide

[5] [true] [slider-top-big] [Slider Top]

Durna

| No comment
Alkisah, Durna harus menjadi hakim bagi perang tanding kedua muridnya, Ekalaya dan Harjuna. Keduanya memiliki kesaktian yang luar biasa dan ketrampilan memanah yang sama dahsyatnya. Harjuna menantang Ekalaya yang telah membunuh anjing pelacaknya menggunakan ilmu panah Sapta Tunggal. Harjuna merasa terhina bukan karena kematian anjingnya, tetapi karena ketrampilan memanahnya dilampaui oleh Ekalaya. Bukankah selama ini dialah yang digadang-gadang sebagai pemanah nomor wahid di Sokalima. Dalam lima hari, perang tanding itu belum juga menunjukkan siapa yang lebih unggul dari yang lain.

Durna sebagai guru tentu senang memiliki murid yang cerdas dan trampil. Tetapi adu tanding yang dilandasi kemarahan dan dendam hanya akan menimbulkan bencana. Ia harus menghentikan pertengkaran ini dengan adil.

Harjuna, sebagai putera Pandawa, anak ketiga Prabu Pandudewanata, tidak mungkin dirayu supaya mengalah. Maka Durna pun mendatangi Ekalaya dan membujuknya supaya pura-pura kalah.


"Sejak semula aku sudah mengaku salah dan meminta maaf, namun Harjuna memilih menyelesaikannya dengan cara kesatria." Ucap Ekalaya. "Namun, dalam pertempuran seperti ini aku tidak bisa berpura-pura kalah, karena ketika tanganku telah memegang anak panah ada daya yang luar biasa yang terhimpun si seluruh budi."

Ekalaya mengakui kalau ia memiliki cincin Mustika Ampal yang dari pusaka itu seluruh kekuatannya berasal untuk mengimbangi Harjuna. Hati Durna pun, yang semula tidak memihak, kini lebih condong kepada Harjuna karena sebenarnya Ekalaya tidak bertempur dengan kekuatannya sendiri.

Durna meminta Ekalaya melepaskan cincin Mustika Ampal yang tertanam di ibu jarinya. Tetapi karena pusaka itu telah mendarah daging, Ekalaya harus kehilangan ibu jarinya. Durna pergi meninggalkan bilik Ekalaya menuju peristirahatan Harjuna. Di sana, ia memberikan cincin itu kepada Harjuna.

Keesokan hari, Ekalaya kembali negeri asalnya, Negara Paranggelung. Harjuna menyusul untuk melanjutkan pertempuran. Tapi ia terkejut melihat keadaan Ekalaya yang sudah tidak beribu jari. Lalu ia menyadari bahwa cincin yang ada di tangan kanannya adalah cincin yang dicabut oleh Durna dari ibu jari Ekalaya.

* * *

Kawan, itulah metologi pewayangan di salah satu cerita ketika Pandawa dan Kurawa bersama-sama berguru kepada Durna. Bisa jadi kita lah durna-durna dengan wajah yang berbeda, yang tidak mau menerima ilmu yang dibawa ekalaya-ekalaya kecil. Padahal, Mustika Ampal adalah cincin pemberian ayahnya yang bernama Prabu Hiranyandanu.

Kawan, ekalaya-ekalaya kecil yang kita tatap wajahnya setiap pagi tidak lagi seputih dahulu. Sudah ada coretan-coretan yang tergurat di atas lembaran kehidupannya. Guratan sketsa itu diperoleh dari orangtua mereka sendiri, keluarga, juga dari guru-guru mereka semasa di SD. Saat ini, ketika di depan kelas, mungkin kita adalah Picasso yang hendak menorehkan warna di atas guratan sketsa itu.

Tanpa sadar mungkin kita telah tidak adil: tebang pilih dalam mendidik siswa kita, mengajarkan siswa untuk meraih prestasi tinggi tapi alih-alih justru menggiring siswa menjadi pribadi yang egois dan individualis. (tentang pendidikan meraih prestasi semoga bisa segera saya curhatkan nanti). Tentunya hikmah-hikmah lain yang bisa dipetik. Bukan kah setiap pembacaan sering memunculkan pemaknaan yang berbeda?

Lanjutan kisah di atas: Harjuna hatur hormat kepada Ekalaya. Jumawa dalam dirinya telah merampas hak hidup saudaranya. Meskipun Ekalaya tidak lagi memiliki kanuragan, rakyat Negara Paranggelung tetap mencintainya sebagai raja yang bijak.

Terimakasih dan mohon maaf bagi yang tidak suka dengan metologi.**