Mas Pa-eng

Aku Lali Nek Durung Mati. || Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe, Mung kadang-kadang ngedumel sithik.

Gambar Pekan Ini

Gambar Pekan Ini
Gambar berdasarkan mood yang muncul.

Subscribe and Follow

Instagram

recent posts

Ads

Contact Form

Flickr Images

Pendapatmu tentang blog ini?

Top Style

[4] [Tali Rasa] [one] [Tali Rasa]

Popular Posts

Top Slide

[5] [true] [slider-top-big] [Slider Top]

Islam, Teknologi, dan Budaya Barat

| 2 Comments

Islam yang lahir dari budaya yang keras, ternyata mampu merasuk ke dalam sumbu-sumbu kehidupan yang bertolak balik dari kebudayaan tanah kelahirannya. Di belahan tempat lain yang berkarakteristik soft culutre ternyata Islam diterima dengan baik. Salah satu faktor penerimaan itu adalah kemampuan para juru dakwah (khususnya Wali Songo) dalam melakukan akulturasi budaya, terutama di daerah Jawa.

Lain dengan India sepeninggalan Tipu Sultan dan Haidar Ali, di Nusantara sepeninggalan para wali justru ajaran para wali semakin mengakar. Di India, Islam dihadirkan melalui penaklukan dan pedang sehingga ketika kerajaan runtuh masyarakatnya kembali pada tradisi dan kebudayaan leluhurnya. Namun, di Nusantara kedatangan Islam tidak mengusik tradisi nenek moyang.

Wali Songo sebagai institusi dakwah ketika itu mampu hadir di masyarakat. Islam diperkenalkan setahap demi setahap melalui pendekatan persuasif dan kebudayaan. Kita sangat mengenal kisah Sunan Kalijaga yang mendakwahkan Islam melalui pewayangan dan kesenian. Begitu pula dengan kisah para wali lainnya.

Metode dakwah Sunan Kalijaga yang sangat permisif dan toleran terhadap budaya lokal memberi kesan sinkretis. Ia masuk melalui seni ukir, gamelan, wayang dan lainnya. Sunan Kalijaga tidak melakukan penyerangan terhadap nilai-nilai dan budaya lokal melalui fatwa-fatwa, namun ia hadir terlebih dahulu di sana untuk kemudian memberi pengaruh dan perubahan. Justru yang awalnya terkesan sinkretis ternyata mampu mengakarkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Kita tahu bahwa setiap masyarakat memiliki pondasi akar kebudayaannya masing-masing. Penyerangan terhadap pondasi-pondasi budaya akan menimbulkan penolakan. Oleh karena itu, hadir bersama masyarakat, mengikuti kemudian mempengaruhi adalah jalan yang sangat maslahah dalam penyebaran Islam.

Kedatangan Islam dan Budaya Barat
Bangsa Indonesia adalah bangsa dengan budaya permisif yang sangat tinggi. Soft culture yang datang dengan pelan dan perlahan akan segera mendapatkan tempat di hati. Bangunan pondasi yang sudah lama berjalan perlahan ditinggalkan.

Budaya Barat yang kian hari kian mengakar datang di hati bangsa Indonesia dengan cara yang hampir sama dengan kedatangan Islam. Yang membedakan adalah sang juru dakwahnya, yaitu teknologi.
Lompatan-lompatan teknologi terjadi sangat fantastis. Kini teknologi tidak hanya hadir di perkantoran dan perkotaan. Kehadirannya bisa kita rasakan di perkotaan dan pedesaan, orang tua sampai anak balita, di tangan orang kaya dan orang tak punya.

Yang menjadi perhatian permasalahan kita bukan terletak pada teknologinya, tetapi pada budaya yang melekat pada teknologi yang dihantarkan langsung pada tangan generasi muda kita. Sebagai produk negara maju (Barat) sangat memberikan kesan bahwa ketika memegang dan menggunakan perangkat teknologi tersebut maka melekat pula budaya asal teknologi itu.

Kehadiran komputer jinjing/laptop dan telepon genggam semakin memudahkan pengaksesan dunia maya. Dari perangkat inilah transfer budaya terjadi sangat cepat, mengalir deras tanpa ada kanal yang mengkontrol. Kita bisa sama-sama melihat bagaimana proses meniru terjadi begitu cepat. Perayaan budaya yang bersifat kultural ditiru sedemikian rupa sampai-sampai ruang untuk menghadirkan budaya lokal pribadi menjadi sangat sempit.

Yang Positif dan yang Negatif
Menggunakan teknologi bukan berarti tidak ada fugsi positifnya. Bukan pada teknologi itu kekhawatiran kita alamatkan, tetapi pada mentalitas generasi muda yang semakin lama semakin menunjukkan gejala kehilangan arah. Memasuki dunia globalisasi seperti tercebur di tengah-tengah pasar malam. Semuanya menjadi barang komoditi yang bernilai ekonomis, semuanya menjadi barang komersil. Nilai-nilai luhur menjelma menjadi perkara yang sangat rapuh.

Mengingat teknologi yang sudah melekat dalam kehidupan sehari-hari, ada baiknya kita mengkaji dan menformasi ulang metode kita dalam mempertahankan dan menanamkan nilai-nilai Islam di kehidupan bermasyarakat. Dengan begitu, teknologi informasi dan komunikasi bisa menjadi penyokong untuk memperkokoh nilai-nilai lokal.

Mungkin di antara kita ada yang mengeluhkan tentang keterbatasan informasi yang dicari melalui search engine (google.com dan lainnya) mengenai beberapa tema. Sebenarnya di sinilah peluang kita. Melalui blog atau situs kita menempatkan diri sebagai penyaji bagi orang lain, sehingga kita berpartisipasi menambah satu input data. Tanggapan dari para penelusur justru akan memperdalam kajian tersebut.

Ulasan-ulasan bahtsul masail disosialisasikan melalui media internet, diposting di milis, blog, atau situs, link dibagikan di media sosial untuk meningkatkan rate. Tulisan dikemas menjadi ‘hidangan’ yang inspiratif dan menarik. Dengan begitu, akan ada penyeimbang informasi, setidaknya penambahan data. Dalam dunia maya, menjadi penyaji bukan berarti menggurui.

Filter Budaya
Saya kira sudah saat kita beranjak dari ketergantungan menuju kemandirian. Menjadi pribadi yang kreatif merupakan pintu menuju kemandirian. Kenyataan bahwa generasi muda saat ini sulit untuk dinasehati dan cenderung lebih mudah menerima sesuatu melalui pengalaman-pengalaman (learning by doing) mengharuskan kita membentuk pola kaderisasi yang lebih fariatif. Tentu saja dengan tetap mempertahankan watawaashou bil haq awtawaashou bish shobr.

Teknologi merupakan bebas nilai, yang artinya ia bisa berarti kebaikan dan kebajikan namun di sisi lain ia bisa menjadi keburukan dan ancaman. Bimbingan dari para sesepuh dan orang tua adalah upaya pengokohan pondasi-pondasi nilai luhur yang semakin terancam tergusur. Di sisi lain, pembelajaran mengenai perkembangan teknologi menjadi upaya pembentengan supaya tidak terjerumuh dalam kebodohan. Untuk itu, dengan tetap melestrasikan tradisi-tradisi lama, kebudayaan dan nilai-nilai ketimuran akan tetap tetap terjaga dengan baik.

Ironis memang, ketika orang-orang Barat sedang mencari kepuasan spiritual justru generasi muda orang-orang Timur khususnya Indonesia secara perlahan ditarik pada kepuasan material. Budaya Timur setelah berabad-abad menjadi simbol kekuatan spiritual perlahan meluntur. Kebutuhan pangan, sandang, papan sepertinya menjadi bahan utama sikap apologi untuk mengeruk segala-galanya.
Saringan untuk memilih mana yang baik dari teknologi dan mana yang buruk tidak lain adalah pengetahuan. Pengetahuan bisa diraih melalui pendidikan formal atau melalui diskusi-diskusi rutin, melalui dialog atau percakapan-percakapan.

Semoga melalui cara-cara yang lebih aktual, generasi ummat Islam mampu memahami keberadaannya ditengah masyarakat dan menjadi generasi yang madani tanpa kehilangan identitas dirinya.
Admin said...

bukannya wali ada 10?
kenapa yang satu ditiadakan?
wayang kan budaya orang jawa murni?
katanya orang indonesia mengenal 5 sila tentang ketuhanan pun tertera disitu... tapi kenapa orang banyak teroris yang berambisi ingin menghancurkan indonesia yah... mana rasa persatuan dan kesatuannya?

Unknown said...

Wali Songo (Sembilan Wali) adalah semacam institusi "MUI" pada masanya. Bahkan pada saat itu, tidak hanya sepuluh, tetapi lebih.