Mas Pa-eng

Aku Lali Nek Durung Mati. || Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe, Mung kadang-kadang ngedumel sithik.

Gambar Pekan Ini

Gambar Pekan Ini
Gambar berdasarkan mood yang muncul.

Subscribe and Follow

Instagram

recent posts

Ads

Contact Form

Flickr Images

Pendapatmu tentang blog ini?

Top Style

[4] [Tali Rasa] [one] [Tali Rasa]

Popular Posts

Top Slide

[5] [true] [slider-top-big] [Slider Top]

Popularitas

| 2 Comments

Tulisan ini dipersembahkan untuk mereka yang menjadi pahlawan senyap untuk #Pulau_Tegal. 
Penasaran

KETIKA PERTAMA KALI Pak Nur Saman menyampaikan kegelisahannya tentang masa depan anak-anak #Pulau_Tegal saya pun gemas, namun juga bergeming karena tak tahu harus berbuat apa. Rupanya kegelisahan itu sedikit demi sedikit menulari hati saya. Sesekali kuupayakan untuk melupakannya saja, tapi ada kekuatan yang mendesak hati untuk kembali ke sana. Lama berselang, mungkin dua bulan, saya kembali ke sana seorang diri. Perlahan berinteraksi dengan anak-anak yang ternyata masih mengingat baik nama saya. Waktu itu, kegiatan belum rutin, hanya sekali dalam sebulan. Itu tahun 2010. 

Sejak awal saya dan teman-teman tak bermimpi untuk menformalkan pembelajaran. Kami datang, bermain, bercerita, dan mengalami hal-hal kecil yang membahagiakan. Itulah pembelajaran kami. Semula hanya menggambar menggunakan crayon, bernyanyi hanya bertabuh meja dan tepuk tangan, atau kalau ada rejeki yang baik kami membuat kue atau memasak makanan. Sayangnya, masih ada yang menanyakan tentang secarik kertas bernama ijazah: bagaimana mereka mendapatkannya? Saya bergeming, malas menanggapi. Bagiku, siapapun tak berhak mensertifikasi orang lain dalam bertahan hidup.

Setiap perbuatan baik akan diamini alam semesta. Maka alampun mempertemukan kami dengan teman-teman dari Komunitas Chanting, Jogja. Ceritanya cukup panjang hingga kami kenal dengan Mas Gugun. Anak-anak pulau adalah anak-anak emas yang sangat ramah pada siapapun yang datang.  Tak seorang pun luput untuk mendapat sambutan. Tiga hari dua malam kami bermain, bercerita, dan mengalami hal-hal kecil yang membahagiakan. 


Tak hanya dari Jogja yang datang. Setelah setahun berlalu ada teman-teman dari Hibah Buku yang datang dengan seabrek jendela dunia yang beraneka ragam. Saya sendiri ngiler lihat buku-buku itu. Ada buku cerita dengan versi bahasa Inggris—Duh, kapan anak-anak bisa menikmati yang ini? 

Kedua komunitas itu tidak hanya datang sekali. Keterlibatannya, walau sebatas sharing, terus kontinyu. Saya berterimakasih banyak atas curahan support dari seorang teman bernama Ika Maria (semoga lekas kembali ke Lampung, Kawan) dan satu lagi seorang penjelajah alam semester bernama Anazkia.


Mereka adalah para pahlawan senyap. Kusebut senyap karena memilih sunyi dari pada berdiri di tengah-tengah hingar bingar ambisi, popularitas, dan prestis. Dari teman yang tak kukenal banyak tapi aku temukan sesuatu yang dalam, yang kalau berbuat baik semata-mata bukan untuk imbalan tetapi karena kebaikan yang akan kembali pada dirinya lagi, atau setidaknya karena mereka telah berbuat baik keburukan urung datang kepadanya.

Maka, ketika suatu hari datang seorang peliput dari salah satu media cetak, saya sempat bingung apa yang harus disampaikan. Dari sekian pertanyaan, saya hanya bisa berkisah. Lalu dari wawancara singkat itu saya lenyap, tak menemukan diriku yang entah di mana. Apa arti diri saya terhadap anak-anak di Pulau itu? Mereka mendapatkan apa dariku? Atau karena sebenarnya akulah yang belajar kepada anak-anak pulau. Aku lah yang mengambil banyak hal dari mereka. 
Candaria sebelum kegiatan (21 Des 2012) 
Jadi, saya terheran-heran ketika seseorang bermaksud membuat publikasi atas tindakan kebaikan-kebaikan dari tangannya. Memamerkan setiap petakan sawah kebaikan yang telah ditanaminya. Mewartakan pada dunia tentang senyum yang diciptakannya di sebuah gang yang gelap gulita. Karena selalu ada yang menggelitik di dalam hati saya. Sebuah pertanyaan: untuk apa? 


Sebuah Epilog: Di zaman yang riuh dengan dambaan dan impian menjadi idol, berpuasa dengan duduk di ruang sunyi akan mendapat banyak kekayaan.

.
VIRDAALTARIA said...

Tetap menjadi Sutradara, yang mengatur jalannya cerita. Bekan seorang pemain, yang berlakon apik tapi menjiwai hanya sebatas naskah. Semoga Ikhtiarnya selalu dimudahkan mas paeng, mungkin melalui cara ini ada dari mereka yang tergelitik hatinya, hingga gatal-gatal. Bahwa pendidikan adalah hak semua rakyat yang berdiri di Tanah Air ini... Semogaa...

Unknown said...

Virdaaltaria: Memang, ada kalanya harus berteriak keras, ada kalanya pula pelan-pelan saya teriaknya. loh?!!
Untuk saat ini masih lebih seneng yang pelan-pelan.