Sam tiga
hari di Jayapura; dia guru ukatan dinas dari Jawa. Dan, tidak mengira, saat
pembukaan penerimaan siswa baru buat SD Batu Tua 1 yang terletak sejurus aspal
hitam dengan taksi (sebenarnya minibus), ada yang menggelikan sekaligus,
mungkin, meyadarkannya diam-diam. Ia
tersenyum mengingat ini.
Ketika
seorang lelaki bertubuh besar, dengan tubuh lega, dan rambut bergelung seperti
ujung pakis lembut teratur menenteng dua anak lelakinya, sambil bertanya, “Ko pu ilmu buat ajar torang (kami) pu anak
pandai melaut? Torang trada pu waktu. Ini anak lagi semua nakal. Sa pusing.”
Sam memahami
penggal dua penggal. Dia. Seperti yang diajarkan saat micro teaching, mulai
mengulai senyum lalu berkata, “Bapak yang baik, kurikulum untuk pendidikan
dasar itu ketrampilan dasar, matematika, bahasa, olah raga dan beberapa
kerajinan …”
Ah, omong ka sama dengan dong (dia) di bukit atas! Ayo pulang!”
Kaget. Sam
tersentak, belum lagi dia selesai. Dan ini tiak pernah diajarkan di pengajaran
mikro. Juga di buku diktum bab penerimaan siswa baru. Dia pucat; diraihnya
segelas air putih.
Pendaftar
pertama memantik rasa sabar dan sesuatu yang asing dalam dirinya. Ia bersabar
menunggu detik berikutnya dari lepas pukul sembilan. Ia mengelap lagi wajahnya.
Di meja pendatar samping, kosong, Tati belum datang. Cuma da Markus, Waenuri,
dan Titro-teman sekelasnya, yang sedang bertugas masig-masing di ruang lain;
mulai dari siap berkas, mencatatan kebutuhan anggaran, dan menyiapkan papan
tulis. Bismillah, ia mengharap, tepat ketika sebarisan orang-orang legam
bertelanjang kaki menjejaki halaman yang setengah becek bertanah merah,
dilatari sisa-sisa alat berat dan bekas pengaadukan material bangunan itu.
Dan
syukurlah, meskipun dengan penjelasan yang tak kalah berat; setidaknya, tak ada
yang seperti orang pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi
ia masih penasan, siapa sebenarnya orang itu. Ia coba mencari tahu, hasilnya,
ternyata lelaki pertama tadi adalah kepala suku Lat, berada di sekitar pantai
sebelah kanan, menembus seratus rengkuh darung untuk sampai di kampungnya yang
ada di laut itu. Kira-kira begitu kata orang-orang yang juga ada berasal dari
sana.
“Trada perlu risau, dong itu memang keras
kepala,” kata si penjelas itu sambil berbisik-bisik, takut ada yang melaporkan
omongannya.
/2/
Hari tadi
tercatat dua puluh satu siswa mendaftar jadi angkatan baru, sekaligus kelas
baru buat sekolah itu. Usia mereka beragam. Hari berjalan, minggu silih, dan
bulan menumpang tindih. Tepat memasuki bulan Agustus, keganjilan itu muncul
kembali. Meski sebelumnya pernah terjadi, tapi kali ini semaking sering.
Dua anak itu
sering muncul di halaman. Mereka tampak mendatangi sesuatu yang mungkin aneh
baginya. Teman-teman lain menghadapi sebuah tiang dengan bendera dua warna.
Berbaris lalu menyanyi-nyanyi. Dari sini, Sam merasa iba. Ia dekati. Dan tahu
betul, mereka itu yang tempo hari dibawa oleh kepala suku Lat.
“Kenapa
kalian, ingin seperti mereka?”
“he-eh…”
yang satu mengangguk. Ia menatap teman-temannya yang menyanyi bersama-sama itu,
dari sana terbalas, dua tiga melambai ke mereka yang ada di dekat jalan depan
sekolah itu.
“Apa ko ini Do! Trada boleh!! Bapa Ade
bisa marah.”
Mereka
kemudian berlari menjauh, menurun di bukit-bukit kecil bercadas, berkelok,
samar dan hilang bersama suara angin dan pemandangan hijau hutan juga beberapa
rumah pendudukan dan sekali dua waktu minibus berlalu dengan muatan penuh.
Sam
memutuskan sore nanti ia akan mengunjungi rumah anak-anak itu dan memberikan
semacam penjelasan.
Dengan
dibantu salah seorang walimurid, sampailah dia di rumah lelaki itu. Sam
kemudian menyampaikan maksud dan sejumlah penjelasan, terutama perihal
anak-anak mereka yang sering datang ke sekolah.
“Ko trada perlu torang. Torang dah pu sekolah sendiri. Lihat mari! Justru murid ko yang mari.”
Sam, dengan
setengah tak percaya, mengikuti lelaki itu. Ia turun daru rumah besar, lalu
menuju perahu di antara barisan rumah-rumah, aroma laut menerbar, hidungnya di
sesaki asin, dan matanya dipenuhi tatapan aneh dari penduduk sekitar. Dia
menuju sebuah rumah yang sama di atas laut, dan di sana nampak sudah anak lelaki
yang menyambanginya siang tadi. Dan, beberapa muridnya yang iakira sakit,
ternyata mereka ada di sana.
Di tempat
ini, terlihat: barisan dayung-dayung yang digantung, tombak bermata tajam,
sebuah perahu di tengah ruangan, jala, pisau, sebuah titik-titik dengan
cangkang karang, yang kemudian Sam tahu itu rasi bintang di langit. Lelaki Lat
menjelaskan lagi, dengan bahasa alih kode semi kacau, bahwa di sinilah sekolah
yang ia dirikan. Sekolah yang diberi nama Lat: sesuai dengan nama suku.
Sebenarnya
lelaki tadi tidaklah bodoh terlalu. Ayahnya dulu pernah menyekolahkannya ke
“sekolah pemerintah” meski hanya di kelas satu-demikian mereka menyebutnya,
namun suatu hal mengganjal.
Ketika itu,
kakaknya, yang sudah kelas enam di SD Jayapura 2 tak bisa apa-apa ketika harus
menemani kakak mereka yang lebih tua pergi melaut menggantikan ayahnya yang
sakit keras. Dia, kakaknya yang SD tersebut, hanya bisa omong dan
menyanyi-nyanyi, lalu pamer angka-angka tak jelas dalam kertas, tetapi ia tak
becus membaca rasi bintang, arah angin, membelah ombak, mengaahkan tombak,
apalagi mencecap asin air dan jernih gelombang untuk menerka di mana ikan-ikan
berkumpul. Dari situ ia benci sekolah-ia benci menghabiskan waktu dengan
menyanyi dan menggambar tidak jelas. Dan, pelak, ketika ada pembukaan sekolah
baru, ia selalu mencari sekolah yang mengajarkan anaknya melaut, membelah
ombak, mendayung, membaca rasi bintang, menombak ikan paus, dan seterusnya. Dan
itu tak ada, atau mungkin tak akan pernah ada!
Sam terdiam.
Ia paku bagai kelana: semua diktum terkulum gelombang di kaki pancang;
berpias-berpias.
Dan sorenya
juga, Sam melihat di bawah cahaya senja yang senantiasa keemasan sebelum muram
jadi gelap, lelaki itu mengajar dua anaknya dan tiga dari muridnya yang
belakangan absen. Dia mengajari cara memegang dayung, menggerakkannya kanan
kiri di atas perahu di tengah kelas satu. Dan, tak sekalipun lelaki itu
membentak atau bahkan memukul bila salah. Dia selalu berkata,
“Ko pasti bisa! Ko dilahir atas laut, makan ikan laut, garam laut, ko anak laut! Laut ibu torang. Kitorang cintai, dayungi, dan ciumi angin asin ini. Laut
tempat ko makan, laut tempat ko besar nanti, ko paham sa pu nasehat?
Ini tujuan ko sekolah di Lat, ko belajar hidupbukan Cuma omong kosong
dan menggambar. Ko dititipi laut bapa
kitorang.”
/3/
Peristiwa
dua tahun silam terngiang makin dalam, di meja kelas, ketika kini dia
menghadapi pesan pendek berisi keluh dari sejumlah kawan kawan di Jogja yang
belum juga mendapat kerja. dia menarik nafas. Untung dia dapat ikatan dinas;
meski jauh seperti ini, terpisah dari keluarga.
Dia sedang
mengabsen, saat tiba-tiba lelaki kepala suku Lat itu datang mengetuk pintu
kelas. Dia izin sebentar pada murid-muridnya yang kini tinggal
setengah-sisanyanya “sekolah” di Lat: memilih belajar membelah ombak dengan
benar, membaca rasi bintang dengan sket cangkang kerang, dan seterusnya.
“Maf, ada
yang bisa saya bantu, Pak?” Sam bertanya, dalam hati ia mengira lelaki itu,
yang kini membawa kedua anaknya beserta sejumlah anak lain, ingin menyekolahkan di tahun ajaran
baru yang sebentar lagi tiba.
“Ko orang Jawa, bisa ajar torang buat
ini?”
Sam mundur
sedujut. Ia kaget. Lelaki itu menujukkan ikan kalengan bermerek sarden.
Usut punya
usut, setelah bercakap kemduian, sekolah Lat tengah mengalami masalah.
Murid-muridnya bertambah banyak, orang-orang di Batu Tua lebih memilih
menyekolahkan anaknya di sana, yang dalam waktu tak lebih dari setahun dapat
membantu menangkap ikan. Yang mengajar juga dari orang mereka sendiri yang
berpengalaman. Nah, dari sana penghasilan menangkap ikan naik deras. Ketika
kepala suku Lat itu pergi ke Jayapura untuk memasar ikan, ia melihatikan kaleng
yang ternyata harnya sebuahnya setara dengan harga satu kilo ikan mentah. Dia
terkejut. Padahal, menurut kepala suku Lat itu, atu kaleng hanya berisi dua
tiga potong. Dari sini dia ingin menemui sekolah yang bisa mengajarkan
“murid”-nya membuat ikan kaleng.
Dan, sekali
lagi Sam menggeleng. Ia mejnelaskan kembali tentang standar pengajaran di
sekolah, kurikulum, evaluasi, ijazah, dan ketrampulang, menghitung, bahasa,
menghafal nama menteri, Pancasila, Undang-Undang Dasar….
“Ah, baik. Ko tau tempat buat ini?” kepala suku Lat
mengas. Matanya resah. Anak-anakn di belakangnya tengah membaur bersama
anak-anak dalam kelas. Sam membaca pabrik produksinya yang ternyata itu di
Banyuwangi Jawa Timur.
“Sa mau ke
sana! Ko kaih tau…”
Sam
terbengong. Dan ia akan makin kaget, jika tahu bahwa lima hari mendatang, akan
ada rombongan kecil dengan perahu layar sedang, berbekal peta yang ia berikan
sewaktu bertanya, berduyun mengarungi Samudra Hindia, menuju Jawa Timur buat
belajar cara mengalengkan ikan agar tidak rugi dalam menangkap demikian banyak
ikan, agar anak-anak kelak sejahtera, agar listrik penuh, televisi seperti di
kota, mobil, motor…. Tidak ada yang ragu; mereka anak-anak sekolah Lat;
terlatih membelah ombak dengan dayung, membaca ngin, gemintang, dan asin air
laut dn jejak-jejak iakan di antara buih dan gelombang. Jiah! Khiaak!
2010
* Ikan Kaleng karya Eko Triono
Disalin dari 20 Tahun Cerpen Pilihan Kompas: Dari Salahat Dedaunan sampai
Kunang-kunang di Langit. Jakarta. 2012.
Post a Comment