/i/
Tiba-tiba saya ingin membaca tulisan Jeff Greenfiled “Don’t Blame TV” di kumpulan artikel “The Contemporary Reader from Little, Brown”, buku yang terbit berselang dua tahun setelah kelahiranku. Saya menggeleng-geleng kepala karena saat itu—kampung saya belum ada listrik—di negeri Paman Sam sudah mengalami semacam pergeseran nilai yang disebabkan oleh televisi. Gelengan kepala saya bukan karena takjub melainkan karena musykil.Greenfiled membuka tulisannya seperti ini: “Television has been indicated for nearly all our social ill—the rise in crime, increased divorce rate, lower vote turnout, falling SAT scores, the rise in sexual promiscuity, the collapse of family life.” Ngeri ya?
Itu tahun 80-an, televisi sudah dituduh menjadi penyebab beberapa penyakit masyarakat. Dari kekerasan dan kriminalitas sampai perceraian.
—Setelah Disneyland meluncurkan beberapa serial Davy Crockett, semua anak-anak di sana ramai memakai topi coonskin; beberapa tayangan ‘menarik’ tentang kriminalitas di televisi, kerjaan polisi jadi tambah karena meningkatnya peniruan kriminalitas; karena televisi biasa menayangkan berita tentang keretakan rumah tangga seperti perceraian, maka perceraian pun dianggap wajar sehingga pada tahun 1950 rating perceraian warna Amrik dari 2,5 per 1000 menjadi 5 per 1000 yang berbecerai—.
Itu di negeri Paman Sam tiga puluha tahun silam. Coba lihat sekarang di Nusantara ini. Ada gejala yang sama kah?
Sedikit saya ingin kilas balik. Saya anak desa di mana televisi baru menyentuk kepala kami pada tahun 90-an. Setelah itu ada sedikit yang terkikis di dalam diri kami. Yang biasa ke surau untuk mengaji malah belok ke tetangga karena memilih menonton Power Rangers atau Satria Baja Hitam. Yang kalau hari Minggu membantu emak jemur padi atau ke sawah menjadi tak segan untuk membantah karena ingin Dragon Ball atau Wiro Sableng. Masih banyak lagi.
Sekarang?! Tidak hanya televisi yang menjadi penggoda. Telepon pintar dan internet menjadi pemasok informasi tanpa batas yang tak mudah diawasi. Sulit mengetahui apa sebenarnya yang dilihat di layar telepon genggam anak-anak, apa yang sebenarnya ditonton di layar laptop. Akan tetapi, gejala perubahannya sangat tampak dan jelas sekali. Dari bahasa yang tak terkontrol pemilihan diksinya, mode pakaian yang ‘ambigu’ pemakaiannya, juga istrilah-istilah/akronim yang sering sekali rooming di telinga.
Kalau mau berkaca pada masa lalu, pemuda-pemudi Paman Sam saat ini adalah produk puluhan tahun yang lalu. Dan menurut saya, ada kemiripan gejala yang sama—degradasi moral, kenakalan remaja, peralihan budaya, dll—antara negeri yang terletak dibalik negeri kita ini. Jadi, sekedar mengira-ngira kalau tidak ada perhatian terhadap generasi bangsa ini atau mengarahkan bagaimana cara menikmati acara televisi, maka generasi cabe-cabean, ngakak yang sarkastik, kenakalan remaja, konsumtif, dan lainnya, maka . . . hmm, entahlah.
/ii/
Itu, mereka yang masuk televisi atau koran, bukanlah orang-orang yang tak tahu pendidikan. Mereka ke sekolah, ya pergi ke sekolah. Tapi apakah mereka belajar?
Keluarga, sekolah, lingkungan. Triangulitas yang membentuk mental anak. Sekarang, banyak sekali wajah-wajah konsumtif dan komersil. Tidak hanya hasil bumi yang menjadi komoditi pasar, pendidikan dan kesehatan sudah menjadi bagian komoditi yang menjanjikan. Termasuk agama. Idealisme dan romantisme terlalu mahal. Susah menggunakan keduanya di dunia yang seperti ini. Keluarga seharusnya menjadi wajah pertama yang dilihat anak, tapi sayangnya wajah karismanya dititipkan di sekolah. Sekolah tidak lagi menampung para manusia dengan visi mulia yang tak merindukan tanda jasa. Mereka tak ubahnya buruh-buruh yang menantikan tunjangan hari raya yang bernama tunjangan sertifikasi. Lingkungan mereka? Sudah tak bisa didefinisikan lagi.
Ketiganya adalah installer bagi mental anak. Pemerintah kelabakan, seolah-olah baru menyadari betapa rapuhnya pendidikan, lalu dalam waktu satu tahun mengumpulkan bahan yang entah apa namanya dan meramunya menjadi kurikulum baru, K-13.
Orangtua tak ingin hidup prihatin lagi. Merasa bahwa kenestapaan hidupnya dahulu tak perlu dirasakan oleh anak-anaknya. Sehingga, ia bekerja keras mencari nafkah sampai lupa berapa anak yang telah dilahirkan istrinya, yang terpenting adalah keluarganya tak kelaparan. Keluarga seperti ini akan sangat berterimakasih kepada sekolah yang mau merawat anaknya dari pagi sampai sore. Lalu di kepala para pebisnis, inilah lahan yang gambut untuk menuai ‘padi’.
/iii/
Paranoid! Skeptik!
Saya jawab, tidak! Justru mengetahui keadaan yang sebenarnya seharusnya menggugah rasa. Meresapi angan-angan yang ada di kepala: yang dikejar itu keinginan kah atau kebutuhan? Dan apa solusi untuk ‘protes’ kecil ini? Tidak ada. Saya tidak menyuguhkan solusi karena kepentingan orang sendiri-sendiri. Tak perlu mematikan televisi dan memasukkannya ke dalam gudang, tapi cukup menguatkan kotrol diri saat memegang remote televisi.
#televisi #mental anak #tv
Post a Comment