Mas Pa-eng

Aku Lali Nek Durung Mati. || Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe, Mung kadang-kadang ngedumel sithik.

Gambar Pekan Ini

Gambar Pekan Ini
Gambar berdasarkan mood yang muncul.

Subscribe and Follow

Instagram

recent posts

Ads

Contact Form

Flickr Images

Pendapatmu tentang blog ini?

Top Style

[4] [Tali Rasa] [one] [Tali Rasa]

Popular Posts

Top Slide

[5] [true] [slider-top-big] [Slider Top]

Parodi dalam Sertifikasi Guru Bag. 1

| No comment
Beberapa pekan ini saya aktifitas guru meningkat menjadi lebih sibuk. Hilir mudik dari meja kerjanya ke perpustakaan, dari main office ke ruang kepala sekolah. pemandangan seperti ini jarang terlihat di sekolah. saya nikmati sekaligus gemas dan sesekali jengkel. Mereka mengikuti dua agenda secara bersamaan: monitoring dan evaluasi (Moneva) dan Pendidikan Profesi Guru dalam Jabatan (PPGJ).

Pada pertengahan Januari, informasi tentang Moneva disampaikan oleh kepala sekolah dan disusul dengan informasi dari seorang teman yang baru saja Dinas Kota Bandarlampung tentang beberapa nama guru yang masuk list PPGJ. Di satu sisi ada perasaan senang karena mendapatkan kesempatan untuk disertifikasi sebagai guru profesional dan konsekuensi dari keprofesionalannya adalah mendapatkan tunjangan sertifikasi yang lumayan.



Di sinilah yang kemudian menjadi naif dan –seperti yang saya sebutkan tadi- membuat hati gemas dan jengkel. Untuk mendapatkan sertifikat sebagai guru profesional itu justru tidak diimbangi dengan langkah-langkah yang profesional. Pasalnya, data yang ambil oleh pemerintah adalah data online yang diinput tahun lalu dan pada saat itu guru-guru yang bersangkutan adalah tenaga pendidik di SMP. Sekarang sebagaian guru itu mengajar di SMA.

Bagaimanapun juga, menjadi peserta PPGJ adalah hak guru. Mereka diundang oleh pemerintah. Tidak ada hak sama sekali dari sekolah untuk menghalang-halangi mereka. Yang perlu dipegang adalah norma. Norma untuk menghormati aturan-aturan sekolah dan aturan-aturan pemerintah.

Makanya, saya merevisi Surat Keputusan Kepala Sekolah tentang pembagian jam mengajar guru sehingga beberapa teman yang mengajar di SMA itu terdaftar sebagai guru SMP. Langkah pendek ini bukan tanpa resiko karena kalau teman-teman lulus PPGJ maka harus dilakukan semacam ‘resuffle’ tugas mengajar. Dampak perubahan seperti ini berimbas pada atmosfir hubungan guru.

Ternyata permasalah di atas bukan permasalahan satu-satunya. Pada hari selanjutnya datang beberapa guru mata pelajaran yang tidak memenuhi jumlah jam mengajar. (FYI: Guru profesional harus mengajar minimal 24 jam tatap muka). Luba-lubi, meminta ini itu, lalu jadilah mereka mendapatkan 24 jam mengajar tatap muka. Bagaimana bisa? Caranya adalah saling-silang guru mata pelajaran, meminta atau mungkin merebut jam mengajar. Secara de jure sah mendapatkan 24 jam mengajar, tetapi de facto tidak.

Semua jadi musykil. Perihal yang tadinya untuk kebaikan berubah menjadi begitu semrawut. Alih-alih ingin menjadi guru tersertifikasi, peningkatan pedagogik, profesionalisme, personal, dan sosial sedikit sekali mendapat perhatian. Indikasinya adalah saat pelaksanaan Moneva. Semua administrasi guru dikerjakan secara spontanitas. Ada yang salah menghitung jam perpekan ada pula yang salah menulis institusi tempat mengajar.

Tidak hanya musykil tapi juga naif. Kenaifan yang tak bisa saya ungkapkan secara gamblang di sini. Semoga bisa menjadi pembelajaran.