Ilustrasi |
Malam begitu cerah, bintang bertabur mencoba mengganggu redup cahaya bulan yang seperempat itu. Namun sayang bulan tidak terusik sama sekali. Justru Samsul yang merebah di teras -bukan dalam rangka menikmati lukisan langit- yang terusik. Pertanyaan-pertanyaan kecil dalam kepalanya terus menyeruak, berbisik, dan akhirnya berteriak. Telinganya tidak ingin mendengar tapi justru suara itu menembus lebih dalam.
Mau sampai kapan begitu terus. Kamu sudah bersikap tetapi kenapa kemudian gamang. Kamu sebenarnya dari mana dan mau kemana.
Sekali Samsul mengenyahkan sepuluh kali pertanyaan itu menusuk.
Samsul bukan sekali bekerja, bukan di satu tempat juga ia mengucurkan keringatnya. Pernah ia menjadi montir, buruh, bahkan pernah menjadi satpam gadungan. Dan semuanya dijalaninya dengan bahagia, dengan suka rela, dengan anggapan bahwa dengan menjadi seperti itu ia sangat beruntung. Sedangkan kebahagiaan, rasa beruntungnya harus dibagi, harus ditularkan.
Lalu, yang kemudian ia lakukan adalah bernyanyi. Tidak sendiri, tapi bersama anak-anak. Bukan sembarang anak-anak. Mereka adalah anak-anak yang dari kulitnya menyemburkan aroma laut, gelak tawanya terdengar renyah seperti gemercik sapuan ombak di laut, dan semburat mimpi dan harapannya menghembus seperti angin laut.
Hanya saja mereka tidak bisa bernyanyi, mendendangkan lagu "nenek moyangku seorang pelaut". Mereka hanya bisa bergumam. Padahal, kalau mereka bernyanyi sebait saja lagu nina bobok yang dihafal, suaranya sangat anggun melebihi suara Anggun.
Dan Samsul, entah kenapa, begitu ingin bernyanyi dengan mereka. Padahal suaranya fals, padahal gitarnya sedikit rusak di grip ke tiga. Ah, toh hanya sedikit. Mungkin gitar itu memang harus demikian supaya ia hati-hati memetik dawainya.
Samsul benar-benar bisa bernyanyi bersama mereka. Hanya satu lagu. Hanya satu. Dan berikutnya jadi dua lagu, tiga, dan seterusnya. Ah, senangnya hati Samsul karena untuk bahagia ia hanya berbagi, berbagi menyanyi.
Hingga malam itu, di teras itu, kegamangan melukai hatinya. Tidak mungkin hidupnya akan terus seperti itu, karena dalam hidup berbagi tidak selamanya indah. Ada waktu-waktu ia harus meneguk. Ada masa-masa kebahagiaannya harus menjadi kenangan. Dan selanjutnya digantikan oleh tekanan dan tikaman. Dan itu yang ia rasakan.
Seseorang telah menikamnya. Menikam dengan pertanyaan kecil. Apa iya kamu akan begini terus. Dan lagi-lagi ini soal uang. Soal pegangan yang membuat orang hidup. Ia ingin bergeming tapi tidak mudah. Sesekali nurani dan fikirannya bertolak belakang. Seperti sekarang ini. Keduanya berdialog keras.
Toh, mereka yang beruang tidak seutuhnya bahagia. Meskipun yang beruang pun tidak selalu tidak bahagia. Memang pada kenyataan kehidupan Samsul kerap dibenturkan dengan kepentingan yang bermotif uang. Dan menjadi pemahaman umum bahwa uang adalah tujuan. Dan juga ada yang berkilah uang adalah hadiah dari kegigihan.
Mungkin memang demikian. Karena kalau uang tidak berharga tentu Samsul tidak akan pernah bernyanyi bersama anak-anak pantai itu, bersorak dan bertepuk tangan mengiringi lagu tentang nenek moyang kita yang pelaut. Kalau uang tidak penting tentu mereka sudah menghafal puluhan bahkan ratusan lagu dengan alat musik yang tidak hanya gitar.
Samsul hanyalah Samsul yang entah larinya hanya lari di tempat, atau sebenarnya ia justru melesat.
Biarlah setiap orang mencari bahagianya sendiri-sendiri. Dan untuk mendapatkannya tidaklah dengan jalan yang gratis. Dan Samsul memang tidak bisa membelinya. Samsul hanya bisa memberi.
Maka malam itu, ia memetik dawainya, mengirimkan salam pada mereka. Samsul tidak tahu mereka pun sedang bernyanyi di bibir pantai yang pasang, di saung yang sepi, ditemani kapal yang tak dihinggapi camar. Kalau Samsul tahu pasti ia cemburu.
Mau sampai kapan begitu terus. Kamu sudah bersikap tetapi kenapa kemudian gamang. Kamu sebenarnya dari mana dan mau kemana.
Sekali Samsul mengenyahkan sepuluh kali pertanyaan itu menusuk.
Samsul bukan sekali bekerja, bukan di satu tempat juga ia mengucurkan keringatnya. Pernah ia menjadi montir, buruh, bahkan pernah menjadi satpam gadungan. Dan semuanya dijalaninya dengan bahagia, dengan suka rela, dengan anggapan bahwa dengan menjadi seperti itu ia sangat beruntung. Sedangkan kebahagiaan, rasa beruntungnya harus dibagi, harus ditularkan.
Lalu, yang kemudian ia lakukan adalah bernyanyi. Tidak sendiri, tapi bersama anak-anak. Bukan sembarang anak-anak. Mereka adalah anak-anak yang dari kulitnya menyemburkan aroma laut, gelak tawanya terdengar renyah seperti gemercik sapuan ombak di laut, dan semburat mimpi dan harapannya menghembus seperti angin laut.
Hanya saja mereka tidak bisa bernyanyi, mendendangkan lagu "nenek moyangku seorang pelaut". Mereka hanya bisa bergumam. Padahal, kalau mereka bernyanyi sebait saja lagu nina bobok yang dihafal, suaranya sangat anggun melebihi suara Anggun.
Dan Samsul, entah kenapa, begitu ingin bernyanyi dengan mereka. Padahal suaranya fals, padahal gitarnya sedikit rusak di grip ke tiga. Ah, toh hanya sedikit. Mungkin gitar itu memang harus demikian supaya ia hati-hati memetik dawainya.
Samsul benar-benar bisa bernyanyi bersama mereka. Hanya satu lagu. Hanya satu. Dan berikutnya jadi dua lagu, tiga, dan seterusnya. Ah, senangnya hati Samsul karena untuk bahagia ia hanya berbagi, berbagi menyanyi.
Hingga malam itu, di teras itu, kegamangan melukai hatinya. Tidak mungkin hidupnya akan terus seperti itu, karena dalam hidup berbagi tidak selamanya indah. Ada waktu-waktu ia harus meneguk. Ada masa-masa kebahagiaannya harus menjadi kenangan. Dan selanjutnya digantikan oleh tekanan dan tikaman. Dan itu yang ia rasakan.
Seseorang telah menikamnya. Menikam dengan pertanyaan kecil. Apa iya kamu akan begini terus. Dan lagi-lagi ini soal uang. Soal pegangan yang membuat orang hidup. Ia ingin bergeming tapi tidak mudah. Sesekali nurani dan fikirannya bertolak belakang. Seperti sekarang ini. Keduanya berdialog keras.
Toh, mereka yang beruang tidak seutuhnya bahagia. Meskipun yang beruang pun tidak selalu tidak bahagia. Memang pada kenyataan kehidupan Samsul kerap dibenturkan dengan kepentingan yang bermotif uang. Dan menjadi pemahaman umum bahwa uang adalah tujuan. Dan juga ada yang berkilah uang adalah hadiah dari kegigihan.
Mungkin memang demikian. Karena kalau uang tidak berharga tentu Samsul tidak akan pernah bernyanyi bersama anak-anak pantai itu, bersorak dan bertepuk tangan mengiringi lagu tentang nenek moyang kita yang pelaut. Kalau uang tidak penting tentu mereka sudah menghafal puluhan bahkan ratusan lagu dengan alat musik yang tidak hanya gitar.
Samsul hanyalah Samsul yang entah larinya hanya lari di tempat, atau sebenarnya ia justru melesat.
Biarlah setiap orang mencari bahagianya sendiri-sendiri. Dan untuk mendapatkannya tidaklah dengan jalan yang gratis. Dan Samsul memang tidak bisa membelinya. Samsul hanya bisa memberi.
Maka malam itu, ia memetik dawainya, mengirimkan salam pada mereka. Samsul tidak tahu mereka pun sedang bernyanyi di bibir pantai yang pasang, di saung yang sepi, ditemani kapal yang tak dihinggapi camar. Kalau Samsul tahu pasti ia cemburu.
Pringsewu, 11 Nov 2011
Post a Comment