Mas Pa-eng

Aku Lali Nek Durung Mati. || Sepi ing Pamrih Rame ing Gawe, Mung kadang-kadang ngedumel sithik.

Gambar Pekan Ini

Gambar Pekan Ini
Gambar berdasarkan mood yang muncul.

Subscribe and Follow

Instagram

recent posts

Ads

Contact Form

Flickr Images

Pendapatmu tentang blog ini?

Top Style

[4] [Tali Rasa] [one] [Tali Rasa]

Popular Posts

Top Slide

[5] [true] [slider-top-big] [Slider Top]

Ngombe Kopi

| No comment
Kopi Pagi
Kala pulang dengan hati yang gemrungsung. Mulutnya mecucu. Sebenarnya juga komat-kamit menggerutu, hanya saja terlalu pelan dan tak tertangkap telinga siapapun. Termasuk isterinya, Yana. 

“Opo to, Mas? Pulang kerja kok mecucu begitu.” Kala tidak menjawab. “Kopi opo teh?”
“Kopi!” Kala menjawab seperti membentak.

Yana tahu suaminya membentak bukan kepada dirinya. Namun bagaimana pun juga suaranya yang lantang membuat hatinya dag dig dug. 

“Minum kopi sambil marah-marah yo enggak enak. Ini air putih dulu.” 

“Lah, bagiamana aku enggak marah. Ada-ada aja nih Pak Bos buat aturan.” Lalu tangannya menyambar segelas air dingin yang disuguhkan Yana. Mala masih ragu untuk meminumnya.

“Aturan apa tho?” Yana menimpali dengan adem ayem.

Mosok aku gak boleh ngopi sambil kerja. Dibolehin ngopi kalau di kantin. Nah, kopi kan konco kerjo.”

“Ya mungkin Pak Bos tahunya kalau kopi itu konco kongkow-kongkow yang kurang produktif. Coba mas tanyakan langsung ke Pak Bos.” 

“Nah, itu dia. Pak Bos tahunya hanya itu. Tidak melihat langsung. Kalau ada yang ngopi terus kinerjanya buruk, itu karena kopi atau memang wataknya yang males kerja. Jangan semua disamaratakan begitu.” 

“Diminum dulu, Mas, air putihnya.” Kala menghabiskan segelas air dalam beberapa teguk. 

“Kalau sudah begini kan jadi repot. Semua jadi gemrungsung. Yang tadinya punya kinerja baik karena ditemani kopi takutnya jadi menurun.” Kala meletakkan gelas. 

“Takutnya tho? Berarti belum ketahuan kalau nanti kinerjanya akan menurun.”

“Loh, sampeyan kok malah dukung Pak Bos gitu!”

“Jangan terpancing amarah. Nanti gak jadi dibuatin kopi.” Yana memekik dari dapur sembari menyalakan kompor gas. “Begini lho, Mas. Siapa pun yang jadi bos, ketika membuat aturan tentu karena menginginkan sesuatu untuk dicapai. Target. Sampeyan kan sudah lama kerja di sana. Coba diangan-angan lagi kenapa Pak Bos kasih aturan begitu.” 

“Gak ngerti aku.” Kala menjawab ketus. Sebenarnya dia juga baru menyadari itu. Secepat kilat ia mencoba mengangan-angan. Dulu pernah ada yang merokok sambil bekerja, lalu muncul peraturan larangan merokok setelah kantor terbakar karena si perokok tidak mematikan puntung yang dibuang ke kotak sampah. Lalu muncul aturan larangan lembur melebihi jam 9 malam, karena suatu hari kantor kecurian tiga unit komputer gara-gara tidak dikunci setelah lembur. 

Kala terus membatin, jangan-jangan larangan itu diberikan setelah ada kejadian istimewa seperti sebelum-sebelumnya. Sekuat tenaga Kala memutas peristiwa demi peristiwa, tapi tidak ditemukan juga peristiwa yang pas untuk mendukung larangan ngopi di ruang kerja. Semakin keras ia berangan-angan semakin jelas bayangan lain yang muncul. Aturan seperti ini justru akan menimbulkan konflik. 

“Ya! Aku tahu sekarang.” Sentak Kala.

“Tahu apa, Mas?”

“Ingat manajemen konflik? Konflik dimunculkan sebagai cara untuk menyaring, untuk melihat siapa yang memegang komitmen dan siapa yang acuh tak acuh.”

“Masak iya Pak Bos tega melakukan itu?”

“Mungkin Pak Bos tidak. Tapi ada …”

“Ada individu-individu yang bermain?” Yana menghela nafas. “Kok sampeyan jadi berfikir macem-macem gitu tho, Mas. Gara-gara segelas kopi kok muncul prasangka-prasangka. Kalau pas ingin kerja sambil ditemani kopi ya serkong, geser bokong. Beres tho.”

Kala menatap istrinya. Dibalasnya dengan senyum. Dadanya yang dag dig dug karena jengkel dan gemrungsung kini berubah jadi dag dig dug yang lain. Senyumnya memang bikin anu. “Kopiku mana, Dik?”

“Anu, Pak. Elpiji ne entek.” Jawab Yana.

Kala menepuk jidat.**

.